Aku punya hidup yang biasa saja. Bagi orang lain mungkin begitu tapi bagiku tidak. Ini adalah hidup penuh keajaiban. Aku mengetik cerita ini sambil menikmati camilan yang baru saja diantar ke ruang kerjaku. Kepalaku memang agak nyut-nyutan karena baru saja menuntaskan koreksian. Sakit yang tak seberapa, tak ada apa-apanya dibanding kerja keras orang tuaku menafkahi aku. Aku lahir di keluarga yang sederhana karena terpaksa. Sewaktu kecil kami sering makan olahan nasi sisa karena tak ada cukup beras untuk dimakan. Bapakku sering hanya makan umbi-umbian yang ditanam sendiri. Ibuku kadang harus menjual isi rumah agar aku bisa berangkat sekolah. Aku menjalani hidup dengan mencemooh mimpi-mimpi besar, menganggapnya omong kosong. Takdirku adalah menjadi masyarakat agraris yang kampungnya tidak pernah mencium aspal. Masa depanku akan biasa-biasa saja, seperti keluargaku atau tetanggaku. Pikirku akan begitu.
Dulu aku memimpikan punya rumah tingkat seperti
yang sering kulihat saat sepedaan ke sekolah, sekarang aku memilikinya. Dulu
aku pernah bertanya pada diriku sendiri apakah sebelum mati aku bisa membeli
Espass bekas, hari ini aku punya Ertiga. Dulu aku berpikir akan menikahi wanita
seadanya, yang penting mau atau yang dijodohkan denganku, ternyata Allah
memberiku seorang hafizhah, dosen sekaligus kandidat doktor. Hal-hal itu
mungkin terdengar biasa saja tapi bagiku luar biasa.
Keajaiban itu tidak dibawa malaikat penyampai
waktu kepadaku, ia ditumbuhkan dari kepercayaan yang meragukan. Aku lahir di
masyarakat agamis tapi tidak akademis. Sulit rasanya untuk percaya bahwa
menghabiskan biaya untuk sekolah tinggi bukanlah hal sia-sia. Aku adalah
satu-satunya, benar-benar satu-satunya manusia lingkunganku yang kuliah. Ah, bahkan
akulah manusia langka yang masuk SMA ketika para sebaya memilih SMK agar siap kerja
atau mencukupkan diri dengan SMP. Tidak ada yang salah dengan pilihan mereka,
itu hidup mereka. Setiap orang memiliki keajaibannya masing-masing dan keajaiban
hidupku ditumbuhkan oleh pendidikan.
Komentar
Posting Komentar