Di masa jahiliah kedermawanan adalah hal yang lumrah dilakukan oleh para pembesar Quraisy. Jangan salah sangka, meski mereka tidak percaya pada akhirat tapi mereka tetap melakukan hal-hal “baik” di masyarakat. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa latar belakang turunnya Surah Al-Maun adalah adanya kebiasaan seorang pembesar Quraisy menyembelih unta tiap pekan untuk dibagi-bagikan tapi tidak mau membagi dagingnya kepada anak yatim yang memintanya.
Perilaku semacam itu disebabkan oleh tidak adanya harapan pada balasan di akhirat. Tanpa adanya iman pada akhirat, orang tentu saja akan berpikir untuk mendapatkan balasan instan dari kebaikannya. Oleh sebab itu, sebagian ahli tafsir menafsirkan kata “ad-din” pada ayat pertama Surah Al-Maun dengan “hari pembalasan” sebagaimana tafsir kata itu pada Surah Al-Fatihah. Pangkal dari amal-amal dengan motivasi dunia semata adalah mendustakan hari pembalasan di akhirat.
Ayat ini mengajarkan kita bahwa menjadi dermawan atau melakukan hal baik lainnya tidaklah cukup jika masih berlandaskan motif—meminjam istilah Quraish Shihab—kekinian dan kedisinian. Pembesar kafir Quraish meskipun berlaku dermawan tapi kedermawanannya ditujukan kepada orang-orang yang dianggap akan memberikan balasan bagi mereka. Itulah sebabnya mereka/ia menolak anak yatim yang meminta bagian. Kedermawanan yang salah sasaran hanyalah kepura-puraan.
Kedermawanan kita hendaknya tidak salah sasaran. Jangan sampai kita bermurah hati membagi kepada yang sebenarnya tidak membutuhkan. Sebagai contoh, orang-orang miskin di lingkungan kita lebih pantas kita beri santunan atau hadiah lebaran daripada tokoh-tokoh masyarakat atau para pejabat. Tidak sepantasnya juga orang-orang kaya kita beri hal-hal yang istimewa sedangkan kaum papa kita beri sisa seadanya.
Berlaku dermawan yang salah sasaran adalah hal buruk tapi yang lebih buruk dari itu adalah berlaku tidak dermawan. Islam tidak menyukai orang-orang yang merasa menguasai harta sepenuhnya hanya untuk dirinya sendiri. Al-Qur’an biasanya menisbatkan kata “harta” kepada orang banyak. (Bersambung di kolom komentar)
Perilaku semacam itu disebabkan oleh tidak adanya harapan pada balasan di akhirat. Tanpa adanya iman pada akhirat, orang tentu saja akan berpikir untuk mendapatkan balasan instan dari kebaikannya. Oleh sebab itu, sebagian ahli tafsir menafsirkan kata “ad-din” pada ayat pertama Surah Al-Maun dengan “hari pembalasan” sebagaimana tafsir kata itu pada Surah Al-Fatihah. Pangkal dari amal-amal dengan motivasi dunia semata adalah mendustakan hari pembalasan di akhirat.
Ayat ini mengajarkan kita bahwa menjadi dermawan atau melakukan hal baik lainnya tidaklah cukup jika masih berlandaskan motif—meminjam istilah Quraish Shihab—kekinian dan kedisinian. Pembesar kafir Quraish meskipun berlaku dermawan tapi kedermawanannya ditujukan kepada orang-orang yang dianggap akan memberikan balasan bagi mereka. Itulah sebabnya mereka/ia menolak anak yatim yang meminta bagian. Kedermawanan yang salah sasaran hanyalah kepura-puraan.
Kedermawanan kita hendaknya tidak salah sasaran. Jangan sampai kita bermurah hati membagi kepada yang sebenarnya tidak membutuhkan. Sebagai contoh, orang-orang miskin di lingkungan kita lebih pantas kita beri santunan atau hadiah lebaran daripada tokoh-tokoh masyarakat atau para pejabat. Tidak sepantasnya juga orang-orang kaya kita beri hal-hal yang istimewa sedangkan kaum papa kita beri sisa seadanya.
Berlaku dermawan yang salah sasaran adalah hal buruk tapi yang lebih buruk dari itu adalah berlaku tidak dermawan. Islam tidak menyukai orang-orang yang merasa menguasai harta sepenuhnya hanya untuk dirinya sendiri. Al-Qur’an biasanya menisbatkan kata “harta” kepada orang banyak. (Bersambung di kolom komentar)
Komentar
Posting Komentar