Saat SMP saya menertawakan teman saya yang bermimpi ingin kuliah. Saya orang kampung yang kampungan. Jangankan kuliah, banyak warga kampung saya yang cuma lulusan SMP. Teman saya bahkan ada yang tidak lulus SD. Filosofi tetangga saya adalah kuliah itu perjudian yang minim peluang menangnya. Bayarnya sudah pasti, hasilnya belum jaminan. Saya baru punya minat kuliah setelah mau lulus SMA. SMA saya cukup ternama, alumninya banyak yang kuliah bahkan ke luar negeri, saya jadi kecipratan motivasi.
Saya sebenarnya maju mundur mau daftar kuliah. Guru BK saya begitu antusias memotivasi saya daftar ke ITB atau ITS. Beliau mengira saya pandai fisika lantaran guru fisika pernah memuji saya di awal kelas X. Beliau tidak tahu bahwa setelah pujian itu, dua setengah tahun selanjutnya saya megap-megap jadi siswa paling bodoh di mapel fisika. Ahahaha. Saya yang tahu diri tak mungkin mengikuti saran beliau.
Sekian lama bingung, saya pasrah, ke mana saja tak masalah asalkan kuliah. Sebenarnya saya sudah lolos seleksi di salah satu kampus terbaik di Indonesia tapi biayanya lebih besar dari setahun penghasilan bapak saya. Biaya SMA saja sudah menggoyang stabilitas ekonomi keluarga, apalagi harus bayar kuliah berjuta-juta. Modal yang terlalu besar untuk perjudian yang minim peluang menangnya.
Ending-nya saya kuliah di suatu kampus yang benar-benar di luar radar sekolah. Mengembara ke negeri entah-berentah, pokoknya dipaksa-paksain betah sampai dapat ijazah. Saya punya prinsip, “Jika kampusnya bagus, seharusnya saya mudah meraih keberhasilan. Jika kampusnya jelek, alangkah kebangetan gagal di tempat yang jelek!”. Kita tidak diciptakan Tuhan untuk sekadar melakukan hal-hal remeh seumur hidup.
Pilihan saya untuk nekat kuliah nyatanya tepat. Berkat pilihan itu, saya yang orang kampung dan kampungan sekarang bisa beli cilok tanpa was-was dengan harganya.
Komentar
Posting Komentar