Ada tiga fitnah (ujian) besar yang pernah menimpa umat Islam
sepeninggal Rasulullah. Pertama, pembunuhan Utsman bin Affan. Ini adalah
pemantik awal lahirnya perang saudara berkepanjangan. Kedua, Perang Jamal
antara Aisyah binti Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Perang ini dikabarkan
menelan korban hingga delapan belas ribu shahabat. Fitnah ketiga, konflik
al-Walid II dan Yazid III. Ujung dari konflik tersebut adalah naiknya Marwan II
yang merupakan khalifah terakhir Bani Umayyah.
Pemerintahan Marwan II dikudeta oleh pasukan Abul Abbas
As-Saffah dan Abu Muslim Al-Khurasani. Sesuai namanya, Abul Abbas adalah sosok
yang kejam sesuai gelarnya yang berarti “penumpah darah”. Daftar kekejamannya
bisa dibaca di bukunya Hamka, Sejarah Umat Islam, atau dalam kitab-kitab
klasik tentang sejarah Islam. Ibnu Atsir, misalnya, menceritakan bahwa Abul
Abbas pernah makan malam di atas mayat-mayat anggota Bani Umayyah. Bani Umayyah
memang dibabat habis saat Abbasiyah didirikan, bahkan kuburan kerajaan pun
dibongkar dan dihancurkan. Salah satu anggota Umayyah yang berhasil lolos
adalah Abdurrahman. Dia melarikan diri ke Andalusia (Spanyol) dan mendirikan
Umayyah II yang kelak dikenal dengan kecemerlangan ilmu pengetahuannya.
Daulah Bani Abbasiyah (DBA) sering diidentikkan dengan
kemajuan ilmu pengetahuan. Di masa inilah hidup tokoh-tokoh besar seperti Ibnu
Sina, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan para imam mazhab. Kemajuan
sains di masa Abbasiyah dipengaruhi oleh pernah dijadikannya Mu’tazilah sebagai
ideologi resmi negara. Mu’tazilah adalah aliran yang sangat menjunjung tinggi
akal sehingga mereka terus menggenjot laju pengembangan sains. Tetapi, fase ini
sebenarnya memiliki sisi kelam terutama bagi dakwah Ahlu Sunnah (Sunni,
sebagaimana yang dianut kebanyakan orang Indonesia saat ini). Mu’tazilah
melalui tangan pemerintah mewajibkan warganya untuk menerima kemakhlukan
Al-Qur’an. Mereka mengadakan ujian
keyakinan (mihnah) bagi para ulama. Bagi yang tidak mau sependapat maka
akan dihukum atau dieksekusi mati.
Di antara korban mihnah adalah Imam Ahmad bin Hambal dan Imam
Asy-Syafii. Sebagai ulama Sunni tentu saja mereka menolak keras doktrin Mu’tazilah. Imam Ahmad akhirnya dipenjara dan disiksa hingga nyaris terbunuh
sementara Imam Asy-Syafii hijrah ke Mesir yang lebih aman. Perpindahan Imam
Asy-Syafii dari Baghdad ke Mesir inilah yang kelak melahirkan pembagian fikih
Syafi’iyah menjadi qaul qadim dan qaul jadid.
Di masa DBA terjadi banyak sekali perang saudara karena
perebutan kekuasaan. Di masa ini pula terjadi Perang Salib I. Di fase akhir
kekuasaan DBA, para khalifahnya mulai didikte oleh para jendral Turki. Bangsa
Turki, Bani Saljuk, pertama kali menunjukkan perannya di masa Al-Qaim, khalifah
ke-26. DBA menjadi obyek rebutan dari Bani Saljuk (beraliran Ahlu Sunnah/Sunni)
dan Buwaihi (Syiah). Saat Bani Saljuk ataupun Buwaihi “berkuasa”, peran
khalifah tak lebih dari simbol keagamaan bagi pemerintahan. Mungkin mirip
dengan para raja Jawa yang dicengkeram oleh VOC di sejarah Indonesia. Saat DBA
meredup inilah Daulah Bani Umayyah II makin berjaya. Di ujung masa DBA,
khalifah kembali memiliki otoritas penuh hanya saja wilayah kekuasaannya yang
riil hanya di wilayah Baghdad.
Wilayah kekuasaan DBA sangat luas tapi sebenarnya semua
wilayah itu tidak benar-benar tunduk kepada pusat, terutama setelah Baghdad
makin penuh konflik. Selain ada Umayyah II, ada banyak pemerintahan kecil lain,
misalnya Dinasti Buwaihi, Dinasti Samaniyah, dan Dinasti Fatimiyyah. Dinasti
Fatimiyyah yang merupakan penganut Syiah adalah pendiri Universitas Al-Azhar
Mesir.
Khalifah terakhir DBA, Al-Musta’shim adalah orang yang lemah.
Dia sangat bergantung dengan perdana menterinya, Mu’ayyiddin ‘Al-Alqami.
Menurut Imam Suyuti, orang inilah yang membawa kehancuran bagi DBA. Dia adalah
penganut Rafidhah yang memfasilitasi Mongol masuk Baghdad. Dia menginginkan
kematian khalifah dan berharap Mongol mau mengangkat khalifah baru dari
kalangan Syiah. Nahas, pada akhirnya Mu’ayyiddin ‘Al-Alqami hanya menjadi
pesuruh Mongol dan mati dengan menyedihkan.
Sebagaimana awalnya DBA didirikan dengan pembantaian DBU,
dinasti ini akhirnya hancur oleh serangan Mongol. Diriwayatkan sekitar delapan
ratus ribu hingga dua juta penduduk Baghdad tewas dibantai, militer maupun sipil
sama-sama bernasib tragis. Bencana yang lebih besar adalah musnahnya jutaan
manuskrip karya para ilmuan dan ulama. Karya-karya berharga itu dihancurkan
bahkan dijadikan jembatan untuk melewati Sungai Tigris. Air sungai menghitam karena tercampur tinta yang luntur.
Khalifah Al-Musta’shim dibiarkan hidup sementara waktu untuk
melihat pasukan, warga dan kotanya diluluh-lantakkan. Konon, orang Mongol punya
kepercayaan bahwa darah bangsawan yang mengalir ke bumi akan membawa sial.
Maka, sang khalifah diringkus dalam karung kemudian diinjak-injak kuda hingga
tewas.
Ada segelintir keluarga DBA yang kebetulan tidak di Baghdad
(sebagian sumber menyebut sedang dipenjara karena konflik internal) sehingga
selamat dari pembantaian. Mereka bersembunyi dan melarikan diri ke Mesir. Salah seorang di antaranya diangkat penguasa setempat menjadi khalifah pelanjut legitimasi DBA.
Hanya saja, di fase ini DBA tidak memiliki peran berarti, tidak ada catatan sejarah
kegemilangan. Kaum muslimin hidup di bawah pemerintahan dinasti-dinasti lain
yang memang sudah ada sejak DBA yang berpusat di Baghdad berkuasa. DBA Mesir
benar-benar berakhir saat khalifah terakhirnya menyerah kepada Turki Utsmani
tahun 1517. Turki Utsmani menjadi tonggak baru sistem khilafah tanpa keturunan Quraisy.
Komentar
Posting Komentar