Semasa kuliah, saya biasa baik bus saat mudik (baca: minta sangu kuliah). Dalam perjalanan itu, sekitaran Terminal Tirtonadi adalah salah satu spot paling berkesan bagi saya. Lumayan banyak tuna wisma yang keleleran di pinggir jalan area itu. Pemandangan itu mengusik batin saya: siapa yang menjamin hidup saya tak seperti mereka, atau bahkan lebih buruk? Kengerian yang logis tentang masa depan.
Sekarang, tiap hari saya disuguhi pemandangan yang nyaris sama saat nyegat bus ke kampus. Bedanya, saya tidak terlalu waswas lagi mikir diri sendiri, saya sudah punya rumah dari hasil kerja merayu orang tua. Alhamdulillah sekali, bestie. Kekhawatiran beralih pada nasib anak-anak muda yang sering saya temui. Banyak analis memprediksi bahwa generasi mereka akan sulit punya rumah sendiri. Sulit nyari kerja, dapat kerja gajinya tak seberapa.
Saya beneran gelisah, ingin berbuat sesuatu untuk mereka agar mampu bersaing di dunia kerja. Rezeki memang sudah dijamin, tapi jangan lupakan mereka yang mati kelaparan karena miskin. Tuhan tidak berkewajiban membuat kita kaya. Kita harus berusaha. Saya barangkali cuma bisa ngomel, nyuruh mereka belajar. Mau apa lagi, saya tidak punya cukup modal untuk memberi mereka uang semiliar sebagai bekal. Saya akan mendorong, menginjak, menggebuk, apapun yang saya bisa. Mereka jadi makin kuat atau justru babak belur tergantung mereka sendiri.
Hidup saya saja masih agak semrawut, kok sok-sokan ngurusi masa depan orang? Mau bagaimana lagi, saya ini guru yang pekerjaannya mengubah kehidupan, mencerahkan masa depan. Allahu akbar.
Percayalah, uang dapat mengubah orang. Saya punya teman-teman yang dulu saleh-salehah, namun sekarang jadi penipu, utang lalu menghilang, perkara haram dilakoni demi sesuap nasi. Menyedihkan sekali. Benar kata Nabi bahwa kefakiran dekat dengan kekufuran. Seorang alim pernah ditanya mengapa dia mencintai dinar, ia menjawab bahwa dinar akan menjauhkan wajahnya dari kehinaan (meminta-minta).
Komentar
Posting Komentar