Kita menerima ceramahnya mbah Maimoen meski beliau dari PPP. Kita tak mempermasalahkan kajiannya Salim A. Fillah meski dia pendukung PKS. Kita nyantai dengan kajian bergaya kuliah ala Ustaz Adi Hidayat, kita damai dengan pengajian gayeng ala Gus Baha. Kita bisa sekaligus menerima Gus Mus yang NU dan Prof. Haedar Nashir yang Muhammadiyah. Mungkin kita cenderung pada salah satu dari mereka tapi kita sulit untuk tidak kagum dan hormat dengan nama lainnya. Hal ini mungkin tidak berlaku jika kita tidak termasuk golongan baligh dan berakal sehat. Kita bisa menghargai dakwah mereka karena keilmuan mereka jelas, dan mereka membicarakan apa yang mereka kuasai.
Jadi penceramah mestinya bukan hanya modal nekat, apalagi kepepet. Makin hari kok makin banyak orang dengan latar belakang keilmuan gak jelas ceramah agama. Nyantri belum melakoni, ikut madrasah tidak pernah, ngeyel megang mic. Pembenarannya pakai hadis “sampaikanlah walau satu ayat.” Lah, hambok ingat juga ada hadis di Fathu Bari No. 100, “kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain”, sudah sesat masih ngajak-ajak orang pula. Gak ada ilmu tapi ngomong banyak, sumbernya apa lagi kalau bukan nafsu? “Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun?” (Al-Qashshash: 50) Buka pula Al-Isra’: 36, “Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” Aku jian anyel tenan karo cah sing ngajine ambyar kae, mbiyen tau ngomong bahwa maulid sama saja dengan memperingati “kesesatannya Muhammad”. Ya cuma nyebut “Muhammad” gitu tok, tanpa “nabi” atau diiringi shalawat, dilabeli “sesat” pula.
Modal hafal seayat maunya menghukumi macam-macam. Duh Gusti, tradisi ulama itu bilang “la adri”, “saya tidak tahu”. Contoh masyhur adalah kisah Imam Malik yang didatangi seseorang dari jauh untuk menanyakan permasalahan agama, ternyata kebanyakan soal dijawab dengan “saya tidak tahu”. Kisahnya menarik, bisa dibaca di buku saya. Ehe.
Manusia dengan akal dan hati yang masih normal harusnya nyadar kalau memang tidak mengusai sesuatu. Dari situlah kemudian ia tahu harus belajar. Saya pernah diajari empat kriteria manusia yang ditulis Imam Al-Ghazali, nomor tiga orang yang tidak tahu tapi sadar dengan ketidaktahuannya, itulah orang yang perlu diajari (mustarsyidun). Nomor empat, lha ini, orang yang tidak tahu tapi tidak tahu kalau dirinya tidak tahu, itulah “jaahilun”, tinggal lari saja! Kalau ketemu yang model begitu cepetan kabur.
Everything has changed
It all happened for a reason
Down from the first stage
It isn't something we fought for
Never wanted this kind of pain
Turned myself so cold and heartless
But one thing you should know
Kowe ra iso mlayu saka kesalahan, ajining diri ana ing lathi
Komentar
Posting Komentar