Kala mudik ke Ngawi, saya menemukan sebuah fotokopian kitab, kalau tidak
salah karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Kitab itu milik ibu saya, sedang
beliau pelajari di madrasah diniyah. Yes, ibu saya masih ngaji di masjid.
Diskusi keagamaan di madrasah kadang-kadang berlanjut di sawah sambil tandur
atau matun. Kegiatan keagamaan lumayan banyak di kampung saya, seperti umumnya
kultur masyarakat muslim tradisional. Walau ada kelompok taklim tapi gaya
beragama di kampung saya bukan tipe intelek seperti gejala muslim perkotaan.
Agama bagi mereka adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang sudah
turun-temurun dan tidak perlu argumen fikih yang njelimet. Agama menjadi
lelaku.
Ibu saya dan sebagian tetangga meskipun rajin ngaji tapi tidak pandai beretorika
seperti para penceramah. Mereka belajar agama memang tidak untuk tujuan seperti
itu. Mereka belajar untuk dinikmati sendiri, atau setidaknya agar tidak
gelagapan ketika ditanya anaknya hukum nun mati bertemu mim, atau
sedikit-sedikit tahu bedanya darah istihadhah dengan haid. Agama ala masyarakat
kampung gak bikin pusing. Kaum “intelek” bisa jadi malah pusing melihat mereka
beragama, yang kadang-kadang sulit dicarikan dalilnya.
Untuk menggambarkan betapa sederhananya praktik beragama di kampung saya,
saya kutipkan pertanyaan tetangga yang sampai saat ini belum saya temukan
jawabannya. Katanya, “Sebenarnya, apa bedanya Islam dan Muhammadiyah?” Tetangga
saya mungkin bakal kaget sejadinya kalau tahu saya punya KTA Muhammadiyah—gara-gara
dulu mau daftar S3 kampus Muhammadiyah. Ehe. Well, beragama seperti warga di
kampung saya jelas tidak akan meribetkan dalil bacaan shalat, karena mereka
shalat mengikuti adat bukan dalil. Shalat dari dulu yang begitu, ya begitulah
yang benar gak perlu bingung cari nomor hadis. Bahkan, saya kira mereka tidak
tahu kalau hadis ada nomornya. Saya sendiri baru ngeh dengan masalah shahih-dhaif
setelah sering ngumpul dengan muslim puritan-konservatif. Setelah itu malah
kadang serba ragu-ragu mau mengamalkan sesuatu, untungnya fase itu tak
berlangsung permanen. Alhamdulillah.
Apakah dengan tidak mengetahui seluk-belum fikih atau tidak nyambung dengan
perbincangan ahli kalam berarti seseorang jadi kurang agamis. Saya rasa tidak.
Saya malah pada akhirnya mikir praktik beragama di masa sebelum ilmu agama
dibakukan memang sangat luwes. Saya menyimpulkan ini setelah membaca biografi
para shahabat. Para shahabat nabi jelas tidak kita ragukan keislamannya tapi
saya sering menemukan cuilan kisah mereka yang mengukuhkan keyakinan saya bahwa
cara mereka beragama amat luwes. Kalau dipikir-pikir shahabat nabi juga hidup
di komunitas yang mungkin sama sederhananya seperti warga kampung saya.
Sebagai contoh, saya pernah baca biografinya Zaid bin Tsabit ra. Dalam
bukunya ada episode ketika para shahabat berbeda pendapat tentang hukum mandi
wajib setelah lelaki mencampuri istrinya. Umar, semoga saya tidak salah
ingat—nanti saya cek lagi, termasuk yang berpendapat tidak perlu mandi. Karena
tidak ada titik temu, akhirnya para shahabat berkumpul untuk menyatukan
pendapat. Bagi saya kisah ini menarik sekali, ngasih bocoran bahwa para
shahabat beragama berdasarkan pengetahuan mereka yang bisa jadi berbeda satu
sama lain. Fakta bahwa level kepakaran para shahabat berbeda-beda tidak bisa
kita sanggah. Tidak semua ahli ilmu, tapi kita juga tidak bisa mengatakan
keislaman mereka kurang. Khalid bin Walid ra. pernah dikritik lantaran gak
lancar hafalan surat pendek! Apakah dia rendah, jelas tidak, jasanya sebagai
panglima jihad tiada taranya dalam sejarah Islam. Khalid gak ahli mengenai
Al-Qur’an karena masuk Islam belakangan kemudian sibuk dengan berbagai
peperangan. Ini sekaligus solusi untuk kelompok penceramah bubrah yang saya
kritik kemarin, untuk berkontribusi dalam dakwah tidak harus dengan ceramah.
Kalau gak lancar ngaji, carilah alternatif lain untuk berkontribusi. Saran ini
bakalan mental jika memang niat awalnya bukan untuk berkontribusi tapi ingin
unjuk diri.
Duh bala kanca priya wanita
Aja mung ngaji syare’at blaka
Gur
pinter dongeng nulis lan maca
Tembe
mburine bakal sangsara
Akeh kang
apal Qur’an hadise
Seneng
ngafirke marang liyane
Kafire dewe ndak digatekke
Yen isih kotor ati akale
Komentar
Posting Komentar