Kala mudik ke Ngawi, saya menemukan sebuah fotokopian kitab, kalau tidak salah karya Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Kitab itu milik ibu saya, sedang beliau pelajari di madrasah diniyah. Yes, ibu saya masih ngaji di masjid. Diskusi keagamaan di madrasah kadang-kadang berlanjut di sawah sambil tandur atau matun. Kegiatan keagamaan lumayan banyak di kampung saya, seperti umumnya kultur masyarakat muslim tradisional. Walau ada kelompok taklim tapi gaya beragama di kampung saya bukan tipe intelek seperti gejala muslim perkotaan. Agama bagi mereka adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang sudah turun-temurun dan tidak perlu argumen fikih yang njelimet. Agama menjadi lelaku. Ibu saya dan sebagian tetangga meskipun rajin ngaji tapi tidak pandai beretorika seperti para penceramah. Mereka belajar agama memang tidak untuk tujuan seperti itu. Mereka belajar untuk dinikmati sendiri, atau setidaknya agar tidak gelagapan ketika ditanya anaknya hukum nun mati bertemu mim, atau sedikit-sedikit tah...