Selama berabad-abad umat Islam merasa paling hebat di muka bumi. Mereka menganggap dirinya sebagai komunitas dengan peradaban paling maju. Sebelum era Perang Salib, cendikiawan muslim biasa memandang rendah bangsa Eropa, menyebut mereka terbelakang dan jauh dari kemajuan sains. Ibnu Khaldun yang hidup di abad ke-14 pun masih berpendapat seperti itu. Pandangan itu lestari hingga berabad-abad bahkan sisanya masih ada sampai hari ini. Seperti kata Lockdown kepada Optimus Prime dalam “Age of Extinction”, manusia adalah makhluk naif yang menganggap dirinya sebagai pusat semesta. Padahal, ia hanya belum tahu bahwa ada yang melebihi dirinya.
Rasa percaya diri komunitas muslim di Mesir goyah ketika negeri itu tiba-tiba diinvasi orang-orang Eropa yang selama ini diremehkan. Tahun 1798, Napoleon yang baru berusia 28 tahun memasuki bekas wilayah kekuasaan Amru bin Ash itu. Empat puluh ribu pasukan mendarat di Aleksandria, menyadarkan kaum muslim bahwa dunia sudah tidak seperti yang mereka pikirkan. Pasukan Napoleon tidak hanya terdiri atas tukang perang tapi juga para seniman dan ilmuan. Setelah menguasai Mesir, mereka bahkan mendirikan pusat kajian ilmu bernama Institute d’Egypte. Bukan berarti pasukan ini datang dengan baik-baik, mereka juga menyerbu Al-Azhar, bahkan menistakan mushaf Al-Quran. Bermula dari sini, rentetan kengerian menyapa negeri-negeri yang dihuni kaum muslimin. Setengah abad kemudian hampir semua wilayah kaum muslimin dikuasai bangsa Eropa, termasuk Indonesia.
Konon, Napoleon juga belajar banyak hal dari dunia Islam. Ia dikabarkan terinspirasi dengan kebijakan Umar yang tidak menjadikan tanah-tanah pertanian Mesir sebagai ghanimah, rampasan perang yang dibagikan kepada mujahid. Umar mengembalikan hak tanah kepada para petani sehingga tidak membuat kaum mujahid menjadi tuan tanah baru di tanah Firaun itu. Konsep land reform ini lantas diboyong Napoleon ke Perancis beserta beberapa hal lainnya.
Bagi pihak kaum muslimin, benturan Mesir dan Perancis menyadarkan mereka tentang perlunya gerakan pembaruan. Perspektif baru dalam menafsirkan Islam yang lebih peka zaman mulai ditawarkan. Al-Azhar, di era Muhammad Abduh, mulai mengkaji filsafat, ilmu hitung dan ilmu lainnya, tak melulu ilmu agama. Muhammad Abduh adalah seorang reformis yang ingin menerjemahkan Islam dalam konteks kontemporer. Tafsirnya berjudul Al-Manar cukup populer di Indonesia. Ia bersama gurunya juga menulis jurnal Islam modernis “Al-Urwah Al-Wutsqa” yang menjadi salah satu inspirasi Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah.
Komentar
Posting Komentar