Anak yang berpose mangap sepertiku bernama Ulya. Ini bocah yang bikin aku gak PD jadi guru. Lha piye, pinteran dia daripada aku. Mulanya aku ngajar dia Bahasa Arab, lantas ganti jadi tahfizh, hafalan Qur'an. Seingatku foto ini diambil ketika dia kelas 2 dan dia sudah hafal puluhan surah. Yap, anak ini sudah hafal berjuz-juz sebelum baligh. Terus piye perasaanmu nèk ngajar bocah ngéné iki?
Sewaktu seumuran dia, aku baru belajar Iqra'. Kelas empat aku baru hafalan Syifaul Jinan fi Tarjamati Hidayatish Shibyan (شفاء الجنان في ترجمة هداية الصبيان) karya Ahmad Muthahhar bin Abdurrahman, itupun belum paham maksudnya. Kelas 5 mulai praktik dan tahun berikutnya mulai talaki selama 3 tahun lebih untuk menyelesaikan bacaan 30 juz. Artinya, Ulya yang masih kelas 2 SD lebih baik dariku ketika SMA perihal Al-Qur'an.
Pengalaman mengajar anak-anak seperti Ulya ini menggedor kesadaranku bahwa jadi guru adalah tugas berat. Dilan belum tentu kuat. Harga diriku babak belur ketemu anak-anak yang pintarnya ora umum begitu. Guru memang masih perlu terus belajar, tapi bukan berarti membiarkan ketertinggalan. Kalau gak segera bisa upgrade kompetensi ada baiknya mempertimbangkan pensiun dini.
Aku pernah remuk-remukan jadi guru, dan ingin para penerusku bernasib lebih baik dariku. Sinau, ben mutu! Ora nggur tura-turu, ngguya-ngguyu. Bagus utawa ayu ora mung yen awakmu kuru lan putih kayak lembu, tapi juga kecukupan ilmu.
Komentar
Posting Komentar