Saya pernah menyimak paparan seorang profesor dari Australia tentang historiografi Indonesia di abad ke-20. Menariknya, bukan teks-teks sejarah yang diulas tapi malah sinopsis film-film populer dari masa itu. Film populer (dan tontonan lainnya) adalah gambaran persepsi publik tentang sesuatu. Mungkin ada benarnya, film-film Warkop DKI menjadi legenda sebab ia mewakili karakter masyarakat kebanyakan yang suka humor dan ya anda tahu sendiri lah. (Sebelumnya saya sudah menulis secuil tentang TV dalam Netnya NET.)
Beberapa hari yang lalu saya numpang nonton TV. Ada dua acara ceramah yang diputar bareng. Unik sekali dua acara itu, saya merasa bahwa ketegangan karena perbedaan penafsiran agama ternyata hanya laku di medsos. Melihat peserta di dua acara itu saya membatin ya begitulah wajah kita: lugu dan sederhana. Saya melihat betapa khusyuknya mereka menyimak penceramah yang menarik sih tapi agak rumit digambarkan.
Acara pertama dipandu orang yang mungkin punya bakat terpendam jadi stand up comedian. Saya pernah lihat videonya ceramah sambil atraksi di atas mimbar (di atas beneran, kakinya naik ke sisi atas mimbar). Pemain ludruk saja tak seatraktif itu saat pentas, orang itu benar-benar totalitas bekerja. Salut! Tak heran jika acaranya bisa bertahan bertahun-tahun.
Acara kedua diisi oleh seseorang yang keren sekali. Dia baca kalimat-kalimat yang bisa membuat orang di sekitarnya pingsan, nangis-nangis atau ndlosor. Walaupun bacaan arabnya terdengar agak tidak fasih yang mungkin disebabkan oleh kualitas mic yang jelek, tapi penghayatannya yang dahsyat dapat menyalurkan aura luar biasa. Keren sekali! Saya yang melihat dari layar kaca saja terasa terbawa suasana di studio.
Selesai menonton acara tersebut saya merasa damai, Indonesia masih baik-baik saja. Selamat berhari Jumat.
Komentar
Posting Komentar