Bagi saya, hal paling menyedihkan kala pilpres terakhir bukanlah Nurhadi Aldo gagal melenggang ke istana karena memang sedari awal mereka tidak berambisi pada kekuasaan duniawi. Yang lebih bikin ngilu adalah migrasinya para ustaz (semoga Allah merahmati mereka) jadi makelar politik.
Nyesek sekali rasanya lihat fenomena macam itu. Kalau sekedar punya kecenderungan sih tak apa, kalau sudah kebablasan sampai pengajian isinya cuma kampanye ya runyam. Ada lho, khutbah Jumat yang sampai diinterupsi gara-gara khatibnya terus-terusan orasi politik. Ada.
Untungnya masih tersisa juga yang fokus di keilmuan. Saya bukan model orang yang hidupnya ribet karena melihat orang yang sedikit berbeda langsung dicap sesat. Lha wong aku waé ketok'e rada sesat. Makanya saya juga gak pakai standar muluk-muluk dalam milih pengajian. Penting jelas sanad keilmuannya, baik adabnya, egaliter dan lucu. Lucu adalah ekspresi kecerdasan yang paling menarik. Ustaz yang cuma uring-uringan mungkin memang gak punya stok humor memadai. Perlu didoakan agar segera mendapat hidayah. Ngamuk-ngamuk itu nampaknya bid'ah dalam dakwah, jauhilah.
Soal adab cukup jelas, orang yang adabnya buruk gak layak dijadikan rujukan ilmu agama. Ra masuk! Egaliter juga penting, ustaz kemaki otomatis gak masuk radar. Imam Ahmad pernah menegur guru yang duduk di tempat teduh sementara muridnya kepanasan. Begitu saja tak boleh, apalagi minta yang serba mewah. Terakhir, perihal punya keilmuan yang memadai jelas paling penting. Kok kebangeten, ada orang yang gak bisa bahasa Arab, baca Quran belepotan, pengetahuan tentang tarikh amburadul bisa dipanggil ustaz, pengikutnya banyak pula. Terkejut akang, terheran-heran.
Komentar
Posting Komentar