Tahun ini ada sekitar 2000 musisi yang mendaftar jadi pengamen di pusat kota Melbourne, tapi hanya 140 yang dapat izin beraksi. Audisi yang mereka lalui cukup berat, mereka harus memenuhi kualifikasi kelayakan. Meski panggung mereka cuma di jalanan Bourke Street Mall, tapi talenta yang mereka tampilkan bukan kelas ecek-ecek. "Selak ijo mas, selak ijo mas, selak ijo..." Crek crek. Bukan! Intip saja di YouTube pakai kuota gratisan.
Setahu saya, Australia adalah salah satu negara yang sangat menghargai diferensiasi profesi. Semua orang memiliki peran yang mesti dihargai. Masyarakat tak meremehkan kuli sebab tanpa kuli gedung-gedung tinggi tak akan berdiri, fasilitas umum juga tak bisa ujug-ujug datang sendiri. Gaji pekerja kasar di negeri itu bahkan lebih tinggi dari gaji dosen.
Penghargaan bagi setiap profesi berbanding lurus dengan tuntutannya. Ngamen dihargai tapi untuk jadi pengamen harus profesional. Dosen dihargai tapi harus memenuhi standar kompetensi. Demikian pula profesi lainnya. Nilai seseorang dilihat dari kualitas pekerjaannya, bukan jenis pekerjaannya. Ingat kisah politisi yang dikepruk pakai telur karena bersikap rasis? Meski pejabat tak otomatis terhormat, lihat dulu kinerja yang dia perbuat. Kalau gak nggenah ya bakal dianggap rendah.
Di seberang Australia, ada negeri yang jangankan ngamen, jadi ulama saja tak ada sertifikasinya. Padahal posisi ulama cukup mentereng di negeri itu. Gak bisa membedakan jama' dan mufrad, ngajinya belepotan, dan pengetahuan sejarah Islam-nya keteteran bisa saja ngaku jadi ulama. Pokoké bebas....
Komentar
Posting Komentar