Sewaktu masih masa putih abu-abu, saya merasa politik adalah jalan paling yes untuk menjayakan Islam. Kalau parpol Islam menang, otomatis Islam juga menang. Tak apalah, semua orang kan pernah melewati masa lugu. Pernah punya cara berpikir simplifikatif dalam dunia yang rumit ini.
Saya berangsur sadar bahwa kekuasaan politis memang ada manfaatnya tapi tak seberapa. Seperti Dinasti Mughal yang berkuasa secara politis tapi tak bisa menegakkan Islam bahkan di depan tembok istananya. Bahkan Umar bin Khattab yang kekuasaannya jos gandos masih kecolongan, anaknya yang di Mesir kepergok suka mabuk-mabukan. Apa gak ngagetin?
Ya gampangnya saya gantian meyakini bahwa yang penting itu ngaji. Tahu halal haram, selamat dari syirik, bertauhid yang benar. Kalau masyarakat takwa ntar rahmat Allah akan ngalir deras. Yang begini ya benar juga, cuma ya embuh lah. Kelihatannya saya tak cukup saleh untuk ngaji terus dengan tema-tema itu melulu. Apalagi kalau sudah mulai membicarakan kesesatan ini itu, byuh!, Islam rasanya sempit sekali. Dalam otak cuma bergentayangan teror neraka, sesat atau dosa. Mau berbuat baik saja takut karena gak tahu dalilnya.
Sempat kagum pula dengan penceramah yang kalau kajian kelihatan ilmiah sekali. Top banget lah, seperti pakai catatan kaki. Eh malah ustaznya ikutan kampanye. Untungnya Allah memviralkan penceramah lainnya yang gayeng, tak terseret politik praktis dan tidak horor perihal akhirat. Gak ngancem neraka teroooosss. Sementara ini saya cocok dengan ustaz yang keseriusan ngajinya dibarengi dengan berlucu-lucu bermutu macam itu. Benarlah kata Gojek, "selalu ada jalan." Tertutup di sini, terbuka di sana. Entah kapan perjalanan ini akan selesai. Semoga bisa ketemu Allah biar bisa tanya, sebenarnya yang paling Ia sukai yang mana.
Komentar
Posting Komentar