Seindah-indahnya masa kuliah tak bakal seberkesan masa SMA. Tak cuma yang berbunga-bunga, masa putih abu-abu juga masa paling mencekam. Apalah daya ujian skripsi di hadapan UN yang ngerinya sampai ke tulang. Eh, mungkin anak SMA era belakangan sedikit beda cerita, UN tak sekejam dulu. Tak sampai pingsan lihat soal ekonomi, sejarah, kimia atau fisika. Dulu, teman saya beneran muntah-muntah sewaktu ujian. Untungnya meski hoak-hoek hampir sejam, LJK-nya sudah 'diselamatkan' para pahlawan. Pernah ada yang ekstrim, kesurupan sampai hilang kesadaran. Kalau sekedar nangis-nangis, sudah terlalu biasa.
UN di masa saya, bukan sekedar menaklukkan soal. UN adalah ujian prinsip, kebersamaan, kreativitas dan tentu saja keberanian. Saat itulah orang geblek macam saya merasakan indahnya sikap toleran dari para cerdik cendekia nan budiman yang bersedia berbagi cahaya menuju masa depan gemilang. Kertas-kertas kecil berkode A,B,C,D atau E jauh lebih berharga daripada uang. Ia sungguh lebih manis dari gombalan adik kelas yang minta dibimbing ke jalan yang sesat.
Saya tak sedang hiperbolis, UN masa-masa itu memang banyak makan korban. Ribuan siswa tumbang jiwanya pas hari pengumuman. Sekolah di seberang sekolah saya bahkan 100% siswanya tidak lulus. Itu bukan satu-satunya sekolah yang bernasib nahas. Alhasil, sekian banyak orang mesti ikut ujian ulang atau paket C. Apakah mereka kumpulan manusia madesu? Tidak juga, belakangan saya tahu bahwa teman kuliah pascasarjana saya juga dulunya gak lulus UN. Ah, entah apa faedahnya UN di masa-masa itu.
Apa kisah paling greget yang Kisanak alami semasa SMA?
Komentar
Posting Komentar