Pak Jokowi baru saja mengumumkan bahwa ibukota bakal dipindah ke Kalimantan Timur. Respon warga republik ini beraneka. Guru Hindu saya antusias menanggapi pilihan ini. "jayaty-atibalaḥ śrīmān śrī-mūlavarma nṛpa" — Yupa Kutai, 6. Indonesia ibarat praktik CLBK, "sandal teklek cemplung kalèn, timbang golek mending balen". Balik ke ibukota era Kerajaan Kutai Kartanagara.
Mas Agus tak ketinggalan momentum, "Ibukota boleh ganti, tapi ibu dari anak-anakku tetap harus kamu." Ya sak karepmu. Yang menanggapi pemindahan ini dengan komentar-komentar super serius juga ada. Bawaan orang kan beda-beda. Mau komentar apa bisa saja, karena bersuara tak sesulit mendapatkan izin membangun gereja.
Mindahin ibukota banyak dipraktikkan sejak dulu. Dalam peradaban Islam misalnya, ibukota sudah berpindah berkali-kali. Madinah, Kufah, Damaskus, Hirah, Anbar, Baghdad, Samara, balik ke Baghdad dan masih berpindah lagi di era Turki Utsmani.
Pindahnya ibukota biasa diikuti perubahan corak pemerintahan. Misalnya dari Damaskus ke Baghdad, mengubah dinasti yang sangat Arab menjadi lebih plural. Perpindahan dari Jawa ke Kalimantan tentunya akan berpengaruh juga terhadap corak republik ini. Sobat, saatnya memperkenalkan Dangdut Banjar untuk menggantikan Dangdut Pantura sebagai musik dangdut arus utama.
Komentar
Posting Komentar