Setelah sidang skripsi, alhamdulillah saya segera dapat pekerjaan sebagai guru. Gaji pokok saya lima ratus ribu, ditambah dua ratusan ribu karena bertugas sebagai pembina asrama. Artinya, saya kerja seminggu penuh, selama dua puluh empat jam sehari, gajinya tidak sampai setengah UMR. Jika dibuat rata-rata harian, hasilnya sekitar dua puluh tiga ribu, setara dengan pendapat rata-rata ngemis di bangjo PKU Kartasura selama setengah jam. Alhamdulillah, meski agak ngenes tapi cukup.
Tak berselang lama, saya kuliah pascasarjana di UI yang negeri. Bermodal ngawur dan gaji seuprit, jika dihitung-hitung jelas gak masuk blas. Alhamdulillah, nyatanya berhasil kuliah sampai wisuda. Hidup anak muda memang harus ngawur. Gak ngawur, gak isa dhuwur. Untuk pembaca yang masih kuliah atau baru lulus, wajib hukumnya kalian kuliah S2. Wajib!
Gara-gara kuliah S2, saya terpaksa hijrah ke sekolah lainnya. Sekolah yang lama kurang meridhai. Di sekolah yang baru, gaji pokok saya naik lumayan, jadi satu juta pas. Naik tapi tetap di bawah standar gaji buruh, jadi guru memang subhanallah. Dicukup-cukupkan untuk kebutuhan hidup dan bayar kuliah, alhamdulillah cukup. Tidak hanya cukup, saya masih bisa beli ini itu. Bahkan, untuk pertama kalinya saya bisa makan di rumah makan Padang! Sebuah pencapaian yang hakiki. Eh, ralat, waktu itu saya ditraktir teman kuliah.
Alhamdulillah lagi, alhamdulillah terus! Setelah lulus, saya berkesempatan jadi dosen kontrak. Istilah resminya adalah DTT, dosen tidak tetap, sekaligus dosen tidak tentram. Gajinya berdasarkan jumlah SKS yang saya ampu. Fluktuatif, kadang-kadang agak mengenaskan. Gajinya dirapel setelah UTS dan UAS. Ngenes ya? Iya. Tapi, bagaimanapun juga jadi dosen tetaplah terlihat keren. Tampil keren lebih utama daripada punya banyak uang, demikianlah kaidah kehidupan. Walaupun ekonomi semrawut, alhamdulillah cukup bahkan saya bisa beli rumah seharga ratusan juta.
Fase berikutnya, saya lolos seleksi dosen CPNS, alhamdulillah, prospek ekonomi jangka panjang agak mendingan. Walaupun profesi dosen gak sekeren citra pengusaha dalam seminar entrepreneur yang membara, saya tetap bersyukur. Pendapatan tak banyak tapi cukup. Eh, banyak nding, hampir sepuluh kali lipat gaji saya saat pertama jadi guru.
Finally, berapapun gaji atau pendapatanmu, insyaallah akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan berlebih. Kuncinya adalah bersyukur dan punya orang tua kaya raya yang bersedia terus-menerus menyuplai pundi-pundi rupiah kepadamu. Semoga Allah merahmati orang tua saya yang tak membiarkan anaknya kekurangan. Amin.
Komentar
Posting Komentar