Kemarin (13/7) saya berkunjung ke salah satu “sekolah” langka. Sekolahnya tak populer, siswanya tak banyak. Kata kepala sekolahnya, mereka memang tidak mengadakan promosi demi menjaga marwah (kemuliaan) guru. Guru tak semestinya mencari murid. Ilmu itu didatangi, bukan mendatangi. Uwu! Selain tidak boleh promosi, guru di sekolah itu juga tidak boleh direcoki wali murid. Sekolah punya aturan main, wali murid bebas memilih untuk sepakat atau cari sekolah lain. Wali murid tetap boleh memberikan masukan ke pihak sekolah, tapi tak seenaknya, minimal setelah empat bulan pembelajaran berjalan. Masukan disampaikan ke kepala sekolah, bukan guru. Tugas guru hanya mendidik bukan diribeti kemauan wali murid.
Masalah kurikulum, sekolah ini merujuk ke tradisi belajar ulama salaf. Tentu dalam koridor pemahaman pihak sekolah. Serba-serbi sekalah selalu diupayakan punya justifikasi dalil keagamaan. Jika sekolah lain berbondong-bondong mejanjikan program hafal sekian juz, sekolah ini tak melakukannya. Intinya, jika tak ada dalilnya, tak wajib diprogramkan ke siswa. Tak sebatas itu, siswa yang belum baligh tak boleh ikut lomba. Ilmu bukan untuk diperlombakan. Menang lomba bisa memicu jumawa, kalah lomba kadang bikin nelangsa, jika sudah begitu terancamlah niat lillahi taala.
Kepala sekolahnya bergelar magister pendidkan, guru-gurunya juga mengenyam pendidikan tinggi. Mereka membangun sekolah ini salah satunya didasari atas keprihatinan atas diri sendiri. Sekian tahun belajar di sekolah tapi merasa tak punya kompetensi sebagai ahli. Tahu banyak tapi tak ada yang mendalam. Yah, mungkin kita semua sebenarnya mengalami hal yang sama. Pak kepala sekolah mencontohnya bagaimana dia dan orang pada umumnya belajar Bahasa Inggris dari SD hingga SMA bahkan PT tapi kita tak juga fasih bicara dalam bahasa itu. Maka, sekolah yang ia nahkodai hendak mewujudkan sistem pendidikan yang efektif membentuk siswa dengan kepakaran tertentu.
Hal pokok yang menjiwai sekolah ini adalah prinsip adab sebelum ilmu. Guru mesti dihormati, mereka bukan sekedar fasilitator belajar yang kerja karena dibayar. Hal ini manarik, agak berbeda dengan sekolah lain yang banyak memposisikan guru sekadar buruh di bidang pendidikan. Sekolah ini mengizinkan guru mengambil tindakan pendisiplinan tanpa was-was dengan gugatan wali murid. Guru boleh bawa anak ketika mengajar, itu bagian dari haknya. Suami istri juga boleh dalam satu lembaga, bahkan dianjurkan. Jika suami istri bereda di sekolah yang sama maka keduanya bisa saling menasihati, ini baru sekolahnya manusia.
Apakah ini sekolah militer yang kelam dan sadis? Tidak. Sekolah menyediakan wahana bermain untuk anak-anak. Cat dinding berwarna cerah, bukan hitam kelam bertuliskan kaligrafi. Suara tawa anak biasa terdengar. Mereka tampak bahagia karena kurikulum sekolah memang disesuaikan dengan usia mereka bukan mengikuti tren dan gaya-gayaan. Mereka bermain pada waktunya, belajar pada waktunya. Tak ada bermain sambil belajar.
Jika kisanak melintas di sekitar gedung PPG IAIN Surakarta, melajulah ke arah timur. Ikuti jalan yang berliak-liuk hingga menemui pengrajin gerabah di timur jalan. Berbeloklah ke timur dan tengoklah kanan-kiri, mungkin kisanak bisa menemukan beberapa papan nama bertuliskan “Permata Qur’an”. Itulah “sekolah” yang sedang kita bicarakan. Saya gunakan tanda petik karena lembaga semacam ini lebih pas disebut “kuttab” untuk jenjang dasar dan “madrasah” untuk jenjang menengah atas. Salam.
Kereeen
BalasHapus