Abu Hanifah adalah satu dari empat imam fikih bersama Malik bin Annas, Asy-Syafii dan Ahmad bin Hambal. Imam malik menyifatinya sebagai seseorang yang apabila mengatakan tiang kayu sebagai emas, maka ia akan menyampaikan argumen yang menjadikan khalayak menyetujui perkataannya. Akalnya memikat demikian pula tampilan dan wanginya.
Abu Hanifah mungkin sudah cerdas sebelum disapih tapi mustahil jadi fakih tanpa jerih. Ia bukan nabi yang dikirimi wahyu, ia manusia yang butuh usaha untuk mendapat ilmu. Kecerdasannya mendorong akalnya tetap terjaga, peka terhadap sumber ilmu beragam rupa. Sumber ilmu Abu Hanifah bukan hanya ulama terkemuka tapi siapa saja yang memiliki hikmah dalam dirinya.
“Aku telah berbuat kesalahan dalam lima hal dari manasik haji di Makkah, lalu tukang cukur mengajariku.” Alkisah, sewaktu ia tahallul, seorang tukang cukur menyarankannya agar keluar dari ihram untuk bercukur. Ketika ditanya mengenai bayaran, sang tukang cukur berkata, “Mudah-mudahan Allah memberimu petunjuk, ibadah tidak disyaratkan dengan bayaran, duduk dan berilah aku kerelaanmu.“
Abu Hanifah terkesima dan malu dengan jawaban yang ia dapati. Ia pun duduk dengan grogi. Tukang cukur lantas mengoreksi sikap duduknya yang tidak menghadap kiblat. Sang imam yang makin grogi segera membenahi posisi duduknya. Ia persilakan tukang cukur untuk mencukur sisi kiri kepalanya. Tukang cukur berkata, “Berilah bagian kanan kepalamu.” Weleh! Sudah tiga kali Abu Hanifah dikoreksi oleh tukang cukur itu.
Abu Hanifah terdiam dan makin takjub dengan sang tukang cukur. Ternyata sikap diamnya pun adalah kesalahan. Duh! “Kenapa Engkau diam?” kata tukang cukur, “Bertakbirlah!” Selesai bercukur sang imam bersiap untuk pergi, tukang cukur menahannya. Tukang cukur berkata, “Shalatlah dua rakaat, lalu pergilah kemana Engkau suka.” Genap lima kali sang imam dikoreksi oleh tukang cukur itu.
Tukang cukur dalam kisah ini, yang bahkan tak diketahui namanya, mengabadi kisahnya bersama sejarah sang imam. Ia mengoreksi kesalahan Abu Hanifah dengan ilmu dan adab yang baik, bukan sikap nyinyir dan merendahkan. Tukang nyiyir memang hanya punya puncak pencapaian di sosial media, bukan dalam catatan sejarah. Wallahu a’lam.
“Walllahi, aku melihat Atha’ bin Abi Rabah melakukannya lalu aku mengikutinya dan mengarahkan orang lain kepadanya,” kata tukang cukur di akhir percakapan.
Komentar
Posting Komentar