Ibnu Abbas dengan fasih menyampaikan seabrek ilmu agama dalam majlisnya. Di antara kerumunan manusia yang menyimak ucapan-ucapan penuh berkah itu ada seorang lelaki berkulit gelap dan berambut keriting bernama Said bin Jubair. Said adalah salah satu murid utama Ibnu Abbas, keduanya seperti bayangan dan bendanya. Pada gilirannya, Said akan menjadi ulama besar di era tabiin.
Kunci belajar Said bukan hanya kebiasaannya nempel terus dengan sang guru tapi semangatnya menulis ilmu. Dalam perkuliahan Ibnu Abbas, Said mencatat materi di lembaran-lembaran, jika habis maka ia tulis di kulit sepatunya, jika habis maka ia tulis di tangannya. Sebagaimana pesan ayahnya kepadanya, ilmu harus dihafal dan terutama ditulis. Tulisan akan membantu jika ingatan pergi sewaktu-waktu.
Menulis adalah pekerjaan para ulama, sementara membaca adalah istirahatnya. Menulis tak selalu mengikat ilmu, ia juga pengikat gagasan. Pada suatu malam Imam Bukhari nglilir, bangun dari tidurnya. Ia lantas menyalakan lampu dan menulis sesuatu yang berkelebat di benaknya. Selah idenya surut, ia mematikan lampu dan kembali tidur. Tak lama kemudian ia bangun kembali dan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Demikianlah berulang-ulang hingga malam makin dekat dengan fajar.
Menulis mirip makan kuaci, maunya nambah lagi. Para ulama kita bisa menulis ratusan bahkan ribuan jilid kitab dalam hidupnya. Imam Nawawi ketika makan pun masih menyempatkan diri untuk menulis (atau membaca). Menulis mampu memberikan kebahagiaan-yang-agak-sulit-dijelaskan. Nulis kuy!
Komentar
Posting Komentar