Cahaya dhuha mulai merekah di Kota Madinah. Rasulullah beranjak dari masjid menuju bilik Aisyah. Beliau bertanya, “hal ‘indakum syai’un—apakah kamu punya sesuatu (untuk sarapan)?” Jika ada makanan maka beliau makan, jika tidak ada maka beliau berpuasa. Hal ini menjadi rujukan para ulama bahwa niat puasa sunnah boleh saja dilakukan setelah fajar asalkan sebelumnya tidak melakukan hal yang membatalkan puasa.
Selain dapat dijadikan dalil mengenai puasa sunnah, diksi dalam pertanyaan Rasulullah sebenarnya sangat menarik. “Apakah kamu punya sesuatu?” Rasulullah tidak bertanya tentang jenis makanannya, “Apa menu hari ini?” atau lebih spesifik, “Apa kamu punya tempe penyet, sambel teri atau lalapan kemangi?” Tidak. Beliau hanya bertanya tentang ada tidaknya makanan.
Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa kenikmatan bersantap bukan masalah tempat atau jenis makanannya. Beliau yang biasa berlaku mesra dengan menggigit makanan di bekas gigitan Aisyah, misalnya, menjadikan jenis makanan tidak terlalu penting. Siapa yang menemanimu makan menentukan kualitas makanmu. Nikmatnya makan nasi kucing bersama yang terkasih dapat dengan mudah menumbangkan cita rasa makanan hotel bintang tujuh yang dimakan sendirian, kesepian, merana, terlunta-lunta karena cinta.... halah!
Makan bersama adalah sunnah Rasulullah dan para shahabatnya. Berbagi makanan sembari bercengkrama adalah salah jalan merekatkan ikatan dan membuka pintu keberkahan. Maka tiadalah banyak berguna mereka yang makan bersama tapi sibuk sendiri-sendiri dengan gawainya.
“Kasih, mari makan bersama dan sejenak tiada gadget di antara kita.”
Komentar
Posting Komentar