Khawarij bukan main dendamnya kepada Ali bin Abi Thalib. Agak aneh rasanya, kaum yang ibadahnya tekun, bahkan membuat minder orang yang melihatnya, bisa sebenci itu dengan khalifahnya. Khawarij bahkan disebut sebagai Asy-Syurrah, sebab mereka mengatakan bahwa telah menjual dirinya (syaraina) dalam ketaatan kepada Allah.
Untuk mengatasi sesat pikir kaum Khawarij, Ali mengirim Ibnu Abbas. Kaum Khawarij memang sesat tapi dalilnya lengkap, akan cocok bila dihadapkan dengan Ibnu Abbas, ulamanya para shahabat.
Ibnu Abbas memulai dialog dengan pertanyaan sederhana, “Apa yang membuat kalian dendam kepada Ali?” Khawarij menjawab, “Ada tiga hal yang menyebabkan kami benci kepadanya: Pertama, ia menyerahkan keputusan hukum dalam urusan agama kepada manusia, padahal Allah berfirman, “Menetapkan hukum itu hanya hak Allah.” Kedua, ia berperang tapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil ghanimah (rampasan perang). Kalau lawannya kafir, harta mereka halal, sebaliknya andai mereka mukmin, darah mereka haram. Ketiga, dalam tahkim (dengan Muawiyah), ia rela menanggalkan sifat amirul mu’minin dari dirinya demi memenuhi tuntutan lawan. Bila ia bukan lagi amirul mu’minin, bererti dia pemimpin orang-orang kafir.”
Khawarij tidak asal-asalan menjawab, mereka siap dengan argumen dan dalil yang bikin otak medioker babak belur. Meski terdengar mematikan, semua kalimat Khawarij ternyata langsung keok menghadapi kecerdasan Ibnu Abbas. Ibnu Abbas menanggapi alasan pertama dengan membaca Surah Almaidah ayat 95,
“Wahai orang yang beriman, janganlah kalian membunuh hewan buruan ketika sedang ihram. Siapa di antara kamu membunuh dengan sengaja maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu....”
Setelah sampai pada akhir ayat, Ibnu Abbas bertanya, “Wallahi, jawab pertanyaanku, mana yang lebih penting, memberi putusan hukum kepada manusia dalam menjaga darah kaum muslimin atau menyerahkan hukum kepada mereka dalam urusan kelinci seharga satu dirham?” Pihak Khawarij pun diam tak berkutik.
Ibnu Abbas beralih pada gugatan Khawarij perihal ghanimah dan tawanan perang. “Apa kalian menginginkan agar ia (Ali) mengambil Aisyah, istri Rasulullah dan ummul mu’minin sebagai tawanan dan pakain berkabungnya sebagai barang rampasan?” Perkataan Ibnu Abbas lagi-lagi tak bisa dijawab pihak Khawarij. Khawarij mungkin tidak kepikiran bahwa dalam Perang Unta Aisyah memang diboyong oleh rombongan pasukan yang bentrok dengan pasukan Ali.
Untuk gugatan mengenai Ali yang melepaskan sifat amirul mu’mininketika tahkim, Ibnu Abbas mengisahkan Perjanjian Hudaibiyah. Dalam perjanjian itu Suhail bin Amr menolak kalimat “Muhammad Rasulullah” sebab menurutnya hal itu sama saja pihaknya mengakui kerasulan Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Rasulullah menerima keberatan Suhail dan menyetujui namanya ditulis “Muhammad bin Abdullah”. Lengkap sudah kekalahan argumen Khawarij, dan ribuan orang dari golongan itu akhirnya bertaubat.
Kesesatan model Khawarij sungguh mengerikan karena ketika mereka membunuh dan berbuat kerusakan, mereka meyakini itu sebagai perjuangan membela agama. Mereka yang hidup dekat dengan masa kenabian, tekun ibadah dan hafal banyak ayat, bisa sesesat itu memahami agama. Tidak tanggung-tanggung, mereka merasa lebih islami dari Ali hingga menghalalkan darahnya. Maka jangan heran bila sekelompok masyarakat yang belajar agama secara serampangan jadi begitu gampang memvonis orang lain sesat, tidak islami atau kafir. Matan-nya potongan video di YouTube, sanad-nya dari pesan berantai di WhatsApp, siapa menghadang, langsung diterjang!
Komentar
Posting Komentar