Kota Damaskus makin dingin dan senyap tapi Amirul mukminin, Umar bin Abdul Aziz, belum juga lelap. Pikirannya melayang ke Bashrah, siapakah yang pantas menjadi penegak hukum-hukum Allah di kota itu. Untuk menegakkan khilfah ala minhajin nubuwah Umar butuh hakim yang bertakwa, cerdas dan tahu seluk-belum masyarakat. Umar gelisah bukan karena tidak ada yang layak dipilih, justru sebaliknya. Umar mengerucutkan pilihan pada Iyas bin Muawiyah dan Alqasim bin Rabiah, tapi tak bisa lagi memenangkan salah satu di antara keduanya. Umar dalam situasi bimbang meilih yang terbaik di antara yang baik, sementara kita biasa memilih yang tidak terlalu buruk di antara yang buruk.
Keesokan harinya Umar meminta bantuan Adi bin Arthah, gubernur Irak yang sedang dalam lawatan ke Damasakus, agar menyeleksi dua kandidat hakim Bashrah. Setelah ia mempertemukan Iyas dan dan Alqasim, Adi bin Arthah juga dibikin bingung memilih. Kedua ulama itu justru mengeluarkan argumen-argumen cerdas untuk memenangkan saudaranya. Ardi dalam situasi harus memilih di antara kandidat yang kompeten tapi tidak berambisi pada jabatan, sementara kita sering dipaksa memilih orang-orang yang doyan dengan jabatan tapi minim kemampuan.
Alqasim akhrinya mengatakan kalimat bernas dan cerdas yang memecah kebuntuan. “Demi Allah,” kata Alqasim, “yang tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, sungguh Iyas adalah orang yang lebih fakih dalam agama dan lebih mengerti masalah peradilan dibanding aku.” Alqashim menghadap ke arah Ardi bin Arthah, “jika aku berdusta atas sumpahku ini, maka kau tidak boleh menunjukku sebagai hakim sebab aku telah berdusta. Dan jika aku jujur, maka kau juga tidak boleh menunjuk orang yang kurang kebikannya padahal ada orang orang yang lebih baik darinya.”
Iyas pun mengomentari kecerdasan saudaranya, bahwa Alqashim telah bersumpah palsu yang dosanya dapat dimintakan ampun dengan taubat tetapi selamat dari jabatan hakim yang dapat mengggiring ke Neraka Jahannam. Tapi apa boleh buat, Alqasim melangkah lebih gesit dengan sumpahnya, Iyas pun diangkat menjadi hakim Bashrah.
Apakah kita masih bisa menemukan orang-orang yang saling mendahulukan saudaranya dalam mengambil kepemimpinan seperti dua ulama tersebut? Tentu saja. Lihatnya situasi shalat berjamaah yang imam rawatibnya tidak hadir, orang-orang bakal saling mengajukan saudaranya. “Sampeyan saja yang imam!” “Ah, sampeyan saja,” sambil mendorong jamaah lain ke depan. Ah!
Komentar
Posting Komentar