Al-Hajjaj Ats-Tsaqafi mengepung Makkah selama enam bulan dan memutus distribusi makanan ke dalamnya. Al-Hajjaj adalah si keji yang dikirim Abdul Malik bin Marwan untuk menaklukkan khalifah Abdullah bin Zubair, pemimpin Makkah. Dengan boikot selama itu, satu persatu pendukung Abdullah membelot, termasuk istri-istrinya.
Dalam keadaan yang makin genting Abdullah menemui Ibunya, Asma’ binti Abu Bakar. Abdullah mencium kening ibunya dan meminta nasihat darinya. Inilah keteladanan agung bagi jiwa-jiwa yang sumpek karena kebuntuan. Ibu adalah peraduan yang tidak pernah berkhianat. Abdullah mencium dan memeluk ibunya hingga Asma merasakan baju besi yang anaknya pakai. Asma’ berkata bahwa perindu syahid tak memerlukan pelindung semacam itu. Abdullah berkata bahwa ia mengenakan baju besi hanya untuk menenangkan ibunya semata. Maka dilepaslah baju besi itu beserta segala beban di hati. “Ibuku, jika kau terbunuh, jangan tangisi aku.”
Jiwa Asma’ tak merapuh seperti raganya yang hampir berusia seratus tahun. Abdullah menyampaikan firasatnya bila jasadnya akan dirusak oleh para musuhnya dan khawatir ibunya akan merasa sedih. Asma’ dengan memesona menjawab, “sungguh, domba yang telah disembelih tak lagi merasakan sakitnya dikuliti.” Asma fasih menguatkan Abdullah untuk tidak sedikitpun ragu mempertahankan kebenaran.
Perang akhirnya usai dengan kematian Abdullah bin Zubair. Asma pun menunjukkan ketegaran seorang ibu yang mengagumkan. Ia kokoh berdiri di hadapan jasad putranya yang berlumuran darah disalib oleh orang-orang biadab. Ibnu Umar mencoba menghiburnya agar bersabar, Asma pun menjawab, “apa yang menghalangiku untuk bersabar, sedangkan kepada Yahya bin Zakaria dihadiahkan kepada penguasa zalim Bani Israil.”
Asma’ adalah yang terakhir meninggal dunia dari kalangan Muhajirin. Setelah membuktikan kesabaran yang luar biasa menghadapi tragedi demi tragedi maka Allah memanggilnya. Jiwanya mengalir lembut menjauhi alam dunia, meninggalkan jejak kesabaran tiada dua.
Komentar
Posting Komentar