Bilal tak lagi kuasa menggemakan suara azan di Madinah setelah Rasul wafat. Setiap kali ia sampai pada kalimat asyhadu anna muhammadar rasulullah suaranya tercekat dicaplok kesedihan, air matanya bakal luber dan suaranya tertahan. Madinah mulai terbiasa tak mendengar lantunan khusyuk seruan Bilal, ribuan kali azan berkumandang tanpanya. Sore itu, azan sayup-sayup menelusup dalam desir angin gurun. Semburat jingga di ufuk barat mengabarkan waktu Maghrib. Abdurrahman bin Auf berbisik menyebut nama Tuhannya. Hidangan berbuka puasa tersaji menggugah selera. Tiba-tiba nafsu makannya ambyar sebab kenangan tentang Mush’ab hadir mengusik jiwanya. Apatah ada tempat untuk menikmati jamuan bila hati diisi kesedihan. Abdurrahman menangis mengingat episode ketika Mush’ab gugur dan kafannya hanyalah kain yang bila ditutupkan ke kepala maka nampaklah kaki jenazah. Teringat pula ia dengan Hamzah yang hanya dikafani dengan sehelai selendang. Kedua shahabat mulia tersebut wafat ketika dunia belum dibuka...