Yen gelem tak jak rabi
Ra gelem tak jagongi
Ora usah digetuni
Pikir keri
(Andi Mbendhol, Pikir Keri)
Cinta hanya menawarkan dua jalan mulia: nikahi atau relakan pergi. Cinta sejati tak merendahkan dirinya dengan menawarkan janji tak pasti. Nampaknya, Ali bin Abi Thalib memilih yang kedua, mengikhlaskan berlalunya cinta tanpa pernah menyatakannya. Mending cinta selamanya tersimpan daripada terucapkan tapi tak berakhir dengan pernikahan. Ali tak cukup punya nyali untuk meminang Fathimah putri Nabi. Lebih-lebih Rasul baru saja menolak Abu Bakar dan Umar. Ali membatin, siapalah dirinya di hadapan dua orang mulia itu. Ali merasa tak ada lagi harapan. Ah, menantu macam apa yang dikehendaki Rasul?
Ali masih diam dengan kegelisahan yang jelas terpendar. Bagi sahabatnya, cukup mudah menebak hasrat Ali untuk menjadi menantu Nabi. “Kenapa bukan kau yang mencoba, sob?” sebagian sahabat menyemangati Ali. Ali ragu-ragu, kalaupun ia diterima ia tak punya apa-apa untuk dijadikan mahar. Jika hari itu Ali berkata ia hanya memiliki cinta, maka ia berkata yang sebenarnya.
Ali melangkah ke kediaman Rasul dengan secuil nekat dan seabrek gamang. Ketika Rasul telah di hadapannya, keberanian yang diharap-harap menyala malah terkena hipotermia.
“Kenapa ke sini ya Ali?” tanya Rasul.
“Nggak, ya Rasul.”
“Sepertinya kamu ingin melamar Fathimah?” Rasul mempermudah urusan Ali. Ya Allah, betapa pengertian Rasul-Mu...
“Iya,” jawab Ali.
Beres, seketika itu Rasul menikahkan Ali dan Fathimah dengan mahar baju besi yang diberikan Rasul kepada Ali. Menikah itu mudah, kita lah yang menjadikannya susah.
Komentar
Posting Komentar