Pasukan pemanah asyik mengerumuni ghanimah dari kemenangan sesaat di Uhud. Tiba-tiba Khalid dan pasukan musyrikin menggempur dari arah yang tak terduga. Ketika Khalid menyerang, nyalalah tanda bahaya. Kuda perangnya menghentak, lawannya akan tersentak. Ia muda dan berbahaya. Sejak awal Khalid memang menjadi salah satu sumber kepercayaan diri kaum kafir Quraisy untuk membalaskan kekalahan mereka dalam Perang Badar.
Melihat pasukan muslim kacau tak karuan, kelompok Abu Sufyan yang mulanya kabur lantas banting setir menyusul Khalid. Muslimin gelagapan, maju mundur kena. Sebagian pasukan muslim sampai tidak bisa membedakan kawan atau lawan. Saking ruwetnya situasi hingga ada muslim yang terbunuh oleh sesama muslim. Seakut itulah kekacauan Uhud setelah Khalid menyergap bikin gagap.
Mushab bin Umair diserang secara mematikan oleh Ibnu Qamiah yang mengira Mushab adalah Muhammad صلى الله عليه وسلم. Penjahat itu lantas membanggakan dirinya telah membunuh Rasul. Keadaan muslimin semakin tak karuan, ada yang khilaf dan lari dari peperangan. Sebagian kecil muslimin yang mengetahui keberadaan Rasul segera membentuk tameng hidup untuk melindunginya. Rasul terluka parah gigi gerahamnya rampal dan wajahnya terwarnai darah.
Para shahahat menjelma menjadi payung yang melindungi Rasulullah dari hujan panah. Kesemerawutan Uhud bahkan menyeret shahabiyah Nusaibah tercebur ke medan laga. (Baca: Wanita di bawah Kilauan Pedang) Tanah Uhud basah dikubangi darah termasuk yang mengalir dari jenazah Hamzah yang dicacah. Kafir Quraisy seperti ingin memakan kaum muslimin tanpa dikunyah, hingga akhirnya mereka lelah dan ‘menyerah’ menghadapi pasukan Rasul yang terlampau tabah.
Perang berakhir tanpa ada menang-kalah yang sempurna. Pihak muslim jelas mengalami kerugian yang lebih besar tapi mereka bergegas move on. (Baca: Move On) Pihak Abu Sufyan yang mulanya pongah buru-buru manyun setelah tahu bahwa Rasul ternyata tak terbunuh seperti dugaan mereka. Lebih lagi mereka kalah gertak dalam peristiwa Hamraul Asad.
Bagian paling menarik setelah peristiwa Uhud gaya bahasa Alquran yang mengomentari perang itu. Berbeda dengan ayat tentang Perang Badar yang cenderung berisi kritik—padahal muslimin memenangkan perang itu, ayat tentang Perang Uhud justru menekankan terapi dan arahan. Ayat tentang Perang Badar misalnya Surah Al Anfal: 67, “tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi, kamu menghendaki harta duniawi sedangkan Allah menghendaki akhirat.” Sedangkan ayat tentang Perang Uhud misalnya Surah Ali Imran: 152, “kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu dan sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu.”
Bagaimana Allah membicarakan Perang Uhud dan Badar adalah panduan praktis menghadapi keberhasilan dan kegagalan. Begitulah cara Maha Bijak bertutur, mengajari kita agar tidak ngawur. Menang ora umuk, kalah ora ngamuk. Kombinasi antara pengetahuan sejarah dan makna ayat adalah bekal terbaik untuk kini dan nanti. Sepertiga lebih isi Alquran adalah sejarah dan semuanya tidak akan banyak berguna jika kita tidak melewati perintah pertama, bukan “sembahlah Aku!” tapi “iqra’!” (bacalah!)
Komentar
Posting Komentar