Bulan Dzulqa’dah tahun kelima Hijriyah, Madinah seperti dikukus, dipanasi dari berbagai sisi. Api pertama dipantik kaum Yahudi Bani Nadhir yang memprovokasi kafir Quraisy agar menggempur muslimin. Quraisy manggut-manggut ketika utusan Yahudi mengobral janji bakal menguatkan mereka ketika perang terjadi. Api semakin berkobar seperti mendapat tumpahan premium yang langka ketika Ghatafan juga menerima ajakan Bani Nadhir. Bani Nadhir jingkrak-jingkrak, mereka berhasil menghimpun pasukan yang sangat besar. Madinah pantas ketar-ketir dengan situasi ini.
Benar-benar seperti dalam kepungan api tanpa ventilasi, Madinah dikeroyok dari dua arah. Dari sisi depan ada wajah-wajah sangar pasukan Ahzab beribu-ribu jumlahnya. Dari sisi belakang ada seringai Yahudi Bani Quraizhah yang membatalkan perjanjian damai. Mereka juga tergiur iming-iming manis Bani Nadhir. Situasi makin runyam dengan pengkhianatan kaum munafik di kalangan muslimin yang dikomandoi Abdullah bin Ubai.
Kelaparan melanda pasukan muslimin hingga mereka mengganjal perutnya dengan batu. Pandangan mata mondar-mandir tak karuan, hati seakan naik ke tenggorokan. Pikiran kalut menelurkan bayangan-bayangan buruk tentang hari esok. Parit yang menjadi pertahanan Madinah memang efektif tapi kaum muslimin tidak yakin hal itu akan terus berguna. Pasukan Ahzab mulai menemukan celah untuk membuat penyeberangan padahal pihak Rasul mulai direcoki para munafik dan Yahudi.
Perang meledak jua akhirnya, korban mulai berjatuhan. Rasul menginstruksikan pendirian ‘rumah sakit Islam’ di dekat Masjid Nabawi. Wujudnya memang hanya tenda tapi dilengkapi dengan ahli medis yang cukup mumpuni. (baca: Wanita di bawah Kilauan Pedang) Pucuk pimpinan rumah sakit itu dipegang oleh Rufaidah Al Aslamiyah. Rufaidah dan keahlian medisnya adalah satu dari bagian sejarah yang luput dari banyak penutur.
Rufaidah tidak hanya memiliki keahlian medis, ia juga mengajarkannya kepada orang lain. Salah satu pasien Rufaidah dalam Perang Ahzab adalah pemimpin Anshar, Saad bin Muadz. Tangan Saad terkena panah hingga darahnya muncrat dari pembuluhnya. Lukanya cukup fatal dan berisiko kematian. Rufaidah merawat Saad bin Muadz, megupayakan kondisi tak makin memburuk.
Luka Saad mulai membaik, ia menjadi hakim untuk kasus Yahudi Bani Quraizhah yang berkhianat. Putusan Saad menghukum mati para pengkhianat berarti membabat habis kekuasaan politik Yahudi di Madinah. Bani Quraizhah adalah klan Yahudi terakhir yang tinggal di Madinah setelah sebelumnya Bani Qainuqa dan Bani Nadhir diusir. (Baca: Menakar Kebencian)
Setelah menghakimi Bani Quraizhah, Saad menengadahkan tangannya meminta kesyahidan. Luka-luka sebelumnya tampak membaik itu lantas pecah. Kabar tentang kritisnya kondisi Saad segera menyebar. Orang-orang berlomba mendekati Saad. Mereka berlarian hingga sandal-sandal putus dan sorban-sorban berjatuhan.
Komentar
Posting Komentar