“Siapa kau ini?” tanya Amru bin Abasah dengan sopan. Dia adalah salah satu orang yang tetap mengesakan Allah di masa Jahiliyah. Beberapa penganut tauhid lainnya adalah Qus bin Said, Zaid bin Amr bin Nufail dan Waraqah bin Naufal. “Saya nabi.” jawab Rasulullah yang saat itu ditemani Abu Bakar dan Bilal. Amru bertanya lagi, “apa itu nabi?” Jawab Rasul, “Allah telah mengutus saya. "Diutus untuk apa?” Amru menyelisik. “Allah mengutus saya agar menyambung silaturahim, menghancurkan berhala, dan mengesakan Allah, serta tidak menyekutukan Dia dengan apapun.” Rasul menjelaskan. “Siapa yang telah mengikuti engkau atas ajakan ini? Tanya Amru. “Seorang merdeka dan hamba sahaya.” Jawab Rasul. Amru bin Abasah pun menerima kerasulan Muhammad.
Keislaman Amru bin Abasah terjadi pada masa Islam masih didengungkan dengan berbisik. Hoaks yang dilancarkan kafir Quraisy untuk menyerang Rasul kadang malah membuat khalayak penasaran tentangnya. Amru bin Abasah termasuk yang telaten mencari kebenaran dalam kubangan dusta kafir Quraisy, hingga akhirnya bertemu dengan Rasul dan berbaiat kepadanya. Tuduhan sebagai orang gila, penyihir dan predikat aneh-aneh lainnya otomatis rontok ketika seseorang merasakan sendiri kemuliaan akhlak Rasulullah.
Hal menarik dan sarat hikmah terselip dalam pernyataan Rasul bahwa salah satu tugasnya adalah menghancurkan berhala. Di tahun-tahun awal dakwah, shalat di Masjidil Haram saja bakal dikeroyok dan digebuki kafir Quraisy apalagi mengusik berhala. Kewajiban untuk meremukkan berhala adalah perbuatan yang tidak mungkin dilakukan namun tetap harus sampaikan. Artinya, ada hal-hal yang harus didakwahkan walaupun (tradisi) masyarakat menentangnya, penguasa zalim membencinya dan kaum muslimin belum mampu mengamalkannya. Memamah ilmu agama mesti radikal: mendasar, menyentuh prinsip.
Radikal. Setiap kata adalah netral, manusia lah yang menjadikannya berpihak.
Komentar
Posting Komentar