Iqra’!, bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.
Ketika Rasul mulai menyampaikan risalah-Nya kepada kaum Quraisy, hanya ada segilintir orang yang mengenal baca tulis. Keliru jika mengira ke-ummi-an Rasul merupakan aib dalam kaum yang dikemuli badawah (kebaduian) itu. Hanya tujuh belas orang lelaki Quraisy yang mengenal baca tulis, bahkan Abu Bakar yang merupakan pakar sejarah dan nasab Quraisy tidak termasuk hitungan ini. Di kalangan perempuan lebih langka lagi yang mengenal literasi, misalnya Hafshah binti Umar. Aisyah bisa membaca tapi tidak bisa menulis. Di Yatsrib, gabungan antara Auz dan Khazraj hanya memiliki sebelas orang yang menguasai baca-tulis. Kaum di luar kelompok yang telah disebutkan tentu lebih jauh dari literasi.
Di masa Islam, literasi mulai mendapat perhatian lebih. Rasul secara konkret mengupayakan layanan pendidikan literasi bagi umat. Misalnya, membolehkan tawanan Badar membayar tebusan dengan pengajaran. Tawanan yang mengajari sepuluh anak-anak Madinah baca-tulis dianggap telah menebus dirinya sendiri. Literasi semakin berkembang ketika kaum mawali (mufrad: mawla, muslim non-Arab) mulai masuk ke Madinah. Mereka datang (dibawa) dari daerah-daerah yang telah dibebaskan pasukan muslimin. Pengaruh kaum mawali dalam bidang keilmuan demikian kuat. Mereka berkontribusi besar mentransfer ilmu dari kalangan shahabat kepada generasi setelahnya.
Setelah Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr dan Abdullah bin Zubair meninggal dunia, seluruh pakar fikih Makkah adalah kaum mawali. Di masa yang sama Madinah hanya memiliki Said bin Musayyab sebagai satu-satunya ahli fikih non-mawali. Para shahabat biasa menggunakan jasa mawali untuk membantu pekerjaan mereka. Hal inilah yang membuat para mawali menyerap banyak ilmu dari shahabat. Misalnya, Nafi’ mawla Ibnu Umar tercatat menjadi rujukan hadis bagi Imam Malik dan Imam Asy-Syafii. Sebagai tambahan, ada tiga murid Ibnu Abbas dari kalangan mawali yang menjadi ulama Makkah, yaitu: Atha’ bin Rabah, Mujahid bin Jabr dan Thawus bin Kaysan.
Salah satu sebab kaum mawali menjadi pakar-pakar ilmu adalah absennya mereka dari keruwetan politik. Di seabad pertama tahun hijriyah kaum mawali nyaris tidak pernah diperhitungkan peran politiknya. Hal tersebut mendorong mereka untuk aktif di ranah lain. Di masa pemerintahan Bani Umayyah, masyarakat umum yang tidak terlibat politik dan militer bergerak bersama kaum mawali membentuk masyarakat ilmiah. Langkah mereka indah menyejarah meski tak mewarisi estafet kekuasaan yang megah mencubit gairah.
Komentar
Posting Komentar