“Ya Rasulallah, pernahkah Engkau mengalami hari yang lebih sedih dari Perang Uhud?” tanya Aisyah.
Anyir darah dan suara pedang yang patah di lembah Uhud masih menggiring kesedihan yang sama. Tragedi itu tetap mengiris hingga masa yang jauh setelahnya. Dialog yang dimunculkan Aisyah tentang Perang Uhud bakal menarik, menyuguhkan cuilan hikmah dengan renyah. Pertanyaan Aisyah ditanggapi Rasulullah dengan aliran narasi menyentuh hati tentang kepedihan dakwah di Thaif. Itulah masa yang lebih perih dari tragedi Uhud, penolakan Thaif menyakiti Rasul bertubi-tubi.
Anyir darah dan suara pedang yang patah di lembah Uhud masih menggiring kesedihan yang sama. Tragedi itu tetap mengiris hingga masa yang jauh setelahnya. Dialog yang dimunculkan Aisyah tentang Perang Uhud bakal menarik, menyuguhkan cuilan hikmah dengan renyah. Pertanyaan Aisyah ditanggapi Rasulullah dengan aliran narasi menyentuh hati tentang kepedihan dakwah di Thaif. Itulah masa yang lebih perih dari tragedi Uhud, penolakan Thaif menyakiti Rasul bertubi-tubi.
Makkah semakin tak ramah dengan dakwah setelah berpulangnya Abi Thalib dan Khadijah. Rasul berbenah agar kalimat Allah tak punah dicaplok manusia-manusia jahiliyah. Dipilihlah Thaif sebagai alternatif membina dakwah. Thaif adalah primadona, bahkan Quraisy ingin meleburnya dengan Makkah. Pemuka Quraisy banyak yang membeli kebun-kebun Thaif dan melakukan kongsi ekonomi dengan penduduknya. Bila Rasul berhasil menyuburkan Islam di sana maka Quraisy akan terusik.
Rasul menuju Thaif ditemani putra angkatnya, Zaid bin Haritsah. Keduanya belaku seakan hanya ingin berkeliling di sekitar Makkah agar kafir Quraisy tak mencegah mereka. Rasul keluar dari Makkah dengan berjalan kaki sehingga tak ada yang mengira beliau hendak bepergian jauh. Jarak Makkah dan Thaif setara dengan Surakarta ke Madiun. Menapaki jalan terjal berbatu sejarak puluhan kilo meter, dihimpit panas gurun, disesaki kesepian ditinggal wafat sang istri dan dilukai kaumnya dengan amat keji. Tiap langkah berat dilalui demi harapan dakwah akan direngkuh penduduk Thaif. Namun, Thaif justru melipatgandakan semua kepedihan Rasul. Mereka melempari Rasul dengan batu hingga darah mulianya merembes membasahi tanah kota itu.
Berhenti sejenak dan hadirkan semua kesedihan, kekecewaan dan keputusasaan yang Rasul rasakan. Dengarkan umpatan-umpatan penduduk Thaif, dengar suara batu-batu yang membentur tulang, cium anyir darah yang merembes. Rasakan nafas yang tersengal-sengal sumpek. Bayangkan perihnya saat butir-butir keringat jatuh pada kulit yang robek. Pejamkan mata dan selamilah rasa itu. Rasakan...
Laa
Haula
Wa laa
Quwwata
Illaa
Bika
Rasakan hingga mengerti mengapa malaikat penjaga gunung sampai menawarkan penghacuran Kota Thaif. Dan kita akan memahami betapa agungnya perkataan Rasul, “Ya Allah berilah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka (berbuat zalim) lantaran mereka tidak mengetahui.”
Komentar
Posting Komentar