Perjanjian Hudaibiyah menyulut gelombang protes dari kaum muslimin. (baca: Terlambat) Usaid bin Hudair pemimpin Aus dan Saad bin Ubadah pemimpin Khzaraj mengkritik putusan Rasul yang dianggap menguntungkan pihak Quraisy yang diwakili Suhail bin Amr. Umar blak-blakan menunjukkan kekecewaannya kepada Rasul, “bukankah engkau pernah menyampaikan kepada kami bahwa kita akan mendatangi Baitullah dan melakukan thawaf di sana?” Pertanyaan ini mematikan, tak bisa dipungkiri bahwa Rasul lah yang mengajak mereka umrah dan Rasul pula yang mengiyakan Perjanjian Hudaibiyah yang mencegah mereka memasuki Makkah. Apakah Muhammad Al Amin telah membohongi mereka dengan janji palsu?
Rasul dengan segala keindahan akhlak berbalur kecerdasan nan menawan mengatasi situasi ini dengan kalimat yang mengagumkan. “Ya betul,” jawab Rasul, “tapi apakah aku mengatakan kepadamu bahwa kita akan mendatanginya pada tahun ini?” Umar berkata, “tidak.” Rasul melanjutkan sabdanya, “sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan thawaf di sana (tapi tidak tahun ini).” Adakah jawaban yang lebih cerlang dari kalimat-kalimat tersebut?
Dua abad kemudian hidup seorang alim yang konon timbangan akalnya lebih berat dari separuh akal penduduk bumi. Khalayak memanggilnya Imam Syafii, sang penolong sunnah Rasul. Kala itu Baghdad hampir tak menyisakan kehidupan bagi ulama yang melawan doktrin kemakhlukan Alquran. Imam Ahmad dan ulama lain yang terang-terangan melawan Mu’tazilah, dipersekusi hingga sebagiannya terbunuh. Kengerian itu menjadikan Yahya bin Main dan mayoritas ahli ilmu mengambil rukhshah, mencukupkan pengingkaran di dalam hati. Imam Syafii mengambil jalan tengah: hijrah ke Mesir.
Dalam perjalanan hijrah, Imam Syafii dihadang oleh serdadu Mu’tazilah. Keadaan menjadi sedemikian menegangkan ketika mereka mulai menginterogasi, “apakah Alquran itu makhluk?” Murid-murid Imam Syafii sudah bersiap dipenjara atau dipenggal karena tahu gurunya tak mungkin mau akur dengan kesesatan Mu'tazilah. Imam Syafii mengangkat kepalan tangan kirinya kemudian membuka jarinya satu persatu sambil berucap, “Taurat, Zabur Injil dan Alquran.” Telunjuk kanan Imam Syafii lantas menunjuk jari-jari kirinya sambil berujar, “ini semua adalah makhluk!”
Para serdadu itu jemawa karena merasa mempecundangi ulama sekaliber Syafii dengan doktrin Mu’tazilah. Sementara murid-murid sang imam mengerti siasat yang barusan dilakoni gurunya. Apa yang guru mereka sebut sebagai makhluk bukanlah empat kitab yang ia sebut tetapi jari tangan yang ia tunjuk. Sungguh, betapa cerdasnya Imam Syafii. Wallahu a’lam.
Bila hidup kita selalu sumpek, mungkin kecerdasan kita yang butek.
Komentar
Posting Komentar