Madinah terguncang hebat, tak akan ada guncangan semacam itu lagi setelahnya. Orang-orang tercengang, sendi-sendi merapuh tak sanggup menyangga tubuh yang lunglai. Lidah yang kaku tidak kuat memproduksi kata, hanya suara serak. Episentrum guncangan ini berada di rumah Aisyah, yang di dalamnya terbujur jasad Rasulullah.
Umar mencak-mencak mendengar kabar duka itu. Dia bangkit, berteriak dan mengancam, “sungguh tangan dan kaki siapa saja yang mengatakan Rasulullah wafat akan dipotong.” Mata-mata sembap tertunduk, mereka tidak terlalu mempedulikan Umar. Hari itu sikap Umar tidak ditafsiri sebagai kekuatan atau kekasaran seperti yang sudah-sudah. Dia hanyalah seorang laki-laki yang patah hati kemudian meluapkan emosi yang tak menemukan peraduan.
Abu bakar menyelinap di antara kerumunan. Tanpa kata-kata, langkahnya bergegas memasuki kediaman Aisyah. Abu Bakar menatap wajah Rasul kemudian menciumnya. Kata-kata cintanya mengalir bercampur air mata. Abu Bakar kemudian keluar menemui khalayak yang di antaranya masih ada Umar dengan teriakannya.
“Hai Umar, duduklah!” Abu Bakar mulai mengendalikan situasi, “barang siapa yang menyembah Muhammad maka sungguh Muhammad telah wafat. Barangsiapa yang menyembah Allah sungguh ia Dzat Yang Maha Hidup dan tidak akan pernah mati.” Kata-kata Abu Bakar menderas menyapu kegalauan. “Muhammad itu tidak lain hanyalah rasul. Telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)?” Abu Bakar membacakan ayat 144 surah Ali Imran tersebut hingga selesai.
Umar seperti baru pertama mendengar ayat itu. Otot dan persendiannya mendadak renta. Ia seperti orang yang baru sadar dari linglung. Umar akhirnya menerima kenyataan bahwa Rasul benar-benar sudah wafat. Sebenarnya Umar tidak sendirian, nyaris setiap jiwa yang menyemai iman seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri di hari itu. Wafatnya Rasul dan berakhirnya wahyu adalah musibah terberat dari semua musibah yang menimpa kaum muslimin hingga kiamat.
Semoga Allah merahmati Abu Bakar yang tak hanya kali ini menyelamatkan umat dari fitnah. Kecintaan Abu Bakar kepada Rasul sama sekali tak diragukan kecuali oleh orang-orang munafik. Rasul ridha kepadanya demikian pula sebaliknya. Sikap tenangnya buka lantaran kerasnya hati tapi sebab teguhnya iman. Sinaran Alquran dan sunnah memberinya kejernihan berpikir bahkan dalam situasi sulit. (baca: Gigi Seri Suhail)
Abu Bakar mengajarkan kepada kita untuk mempersiapkan diri dari sergapan masa-masa krisis. Menyiapkan perbekalan yang cukup untuk bertahan dalam beratnya musibah. Perhatikanlah kejernihan setiap kata yang ia ucapkan, terangkai mengagumkan dengan ayat yang ia pilih. Ia yang sendirian mampu menjernihkan kembali akal penduduk Madinah. Seakan-akan ia telah jauh-jauh hari melatih jiwa untuk mengakrabi setiap krisis. Wallahu a’lam.
Bahan perbaikan diri, untuk selalu siap menerima apapun keadaannya.
BalasHapusTerima kasih telah membaca.
Hapusnote it, top
BalasHapusTerima kasih.
HapusKecintaan para sabat kepada Rasulullah sangat luar biasa. Bagaimana dengan kita sudahkah mencintai Rasulullah
BalasHapusCinta adalah pilihan sadar >> http://www.fikihsirah.review/2017/10/melepas-cinta-dari-rajut-makna.html?m=1
Hapus