Sebagai seorang pemimpin perang Rasul tidak semata-mata mengandalkan bantuan para malaikat yang dengan mudah melibas musuh. Beliau bersungguh-sungguh dalam mengadakan sebab terwujudnya harapan sembari yakin bahwa Allah akan memudahkan. Beliau mempertimbangkan faktor alam, waktu dan hal-hal lain yang mungkin tidak terpikirkan orang lain. Beliau berpagi-pagi menuju Badar mendahului pasukan kafir Quraisy dan mengatur pasukannya untuk membelakangi matahari terbit. Jenius! Posisi tersebut memberi maslahat kepada pasukan muslim karena pihak kafir Quraisy mau tidak mau akan menempati posisi menghadap matahari. Silau.
Rasul menata pasukannya sebagaimana meluruskan barisan shalat. Beliau berpesan agar pasukannya tidak menghunus pedang kecuali musuh telah sampai kepada mereka. Di barisan terdepan adalah para pemegang tombak disusul para pemanah. Pembawa tombak akan merepotkan pasukan berkuda untuk merangsek ke dalam barisan muslimin. Di baris kedua, pasukan pemanah akan melindungi penombak dari serbuan lain.
Selain faktor alam dan kesolidan barisan, Rasul juga memperhatikan suasana batin pasukannya. “Dan jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengetahui.” (8: 65) Rasul membaca ayat ini untuk melipatgandakan kesabaran pasukannya yang menghadapi musuh tiga kali lipat lebih banyak.
Beliau menerapkan metode targhib (motivasi) dan tarhib (ancaman) untuk meneguhkan pasukannya. Kemampuan Rasul sebagai individu dikombinasikan dengan keindahan kalamullah yang disampaikan dengan apik mampu menggenjot moral juang para mujahidin. Kecamuk Badar berakhir dengan kemenangan sekitar 314 pasukan muslim atas seribu pasukan musuh.
Bersungguh-sungguh dalam mengadakan sebab terwujudnya harapan sembari yakin bahwa Allah akan memudahkan adalah petunjuk agung bagi kaum muslim. Prinsip ini Rasul terapkan dalam berbagai situasi sebagai wujud tawakal. Beliau mempertimbangkan berbagai faktor dan celah kemungkinan sebelum memutuskan sesuatu. Hal ini bahkan kadang tidak terjangkau nalar para shahabat sehingga menimbulkan pertanyaan, semisal dalam perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian itu seakan menguntungkan pihak kafir sehingga Umar dan mayoritas shahabat protes. Rasul kukuh menyetujui perjanjian dan masya Allah berawal dari perjanjian tersebut terjadilah Fathu Makkah. Kita kadang terlalu menyederhanakan sirah sehingga dimensi dakwah Rasul yang memukau jadi tampak biasa. Wallahu a'lam.
Komentar
Posting Komentar