Suhail bin Amr adalah orator kebanggaan Suku Quraisy. Ketika tiba masa Islam, dia menjadi salah satu musuh besar dakwah Rasul. Dialah yang memprovokasi para jamaah haji agar tidak mendengarkan seruan dakwah. Dia juga yang menjadi perwakilan kafir Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah yang melegenda. Diksi-diksi yang ia pilih dalam perjanjian itu menunjukkan kepiawaiannya sebagai politisi kelas kakap bahkan paus.
Konsistensi Suhail dalam memusuhi Islam mencapai taraf akut sekaligus mengagumkan. Dia bersama Ikrimah bin Abu Jahal dan Shafwan bin Umayyah adalah beberapa orang yang masih ngeyel mengangkat pedang ketika terjadi Fathu Makkah. Saking menyebalkannya orang ini, Umar pernah ingin merontokkan gigi-gigi Suhail agar dia tak mampu lagi berorasi. Rasul melarang Umar, “mudah-mudahan esok ia akan menempati suatu tempat seperti yang engkau sukai.”
Rasul benar, Suhail pada gilirannya turut mencicipi manisnya iman. Jika sebelumnya ia menunjukkan komitmen yang luar biasa kepada para berhala, kini ia menjadi muslim yang kokoh imannya. Matanya sering basah disebabkan takutnya kepada Allah. Ia rajin mendirikan shalat dan berpuasa sebagai upaya menebus dosa masa lalunya.
Madinah geger ketika Rasul wafat, Umar yang segagah itupun tak mampu mewadahi kesedihan dengan hatinya yang menyempit. Untungnya Abu Bakar segera tampil dengan kalimatnya, “siapa yang menyembah Muhammad, sungguh Muhammad telah wafat. Siapa yang menyembah Allah, sungguh Allah tetap hidup dan tak akan pernah mati.” Kegelisahan penduduk Madinah terhapuskan oleh keberadaan Abu Bakar di antara mereka. (baca: Mengakrabi Krisis)
Kabar wafatnya Rasul berhembus sampai ke Makkah berpotensi memicu gelombang kemurtadan penduduknya yang baru beriman. Ath-thulaqa’, kelompok yang beriman ketika Fathu Makkah masih sangat rawan lepas imannya. Di masa kritis itulah Suhail bin Amr menunjukkan kelasnya sebagai orator. “Wahai orang-orang Quraisy,” Suhail berseru, “janganlah kalian menjadi orang-orang yang terakhir keislamannya dan paling awal kemurtadannya. Siapa yang membuat keragu-raguan pada kami maka kami akan menebas lehernya!”
Kalimat demi kalimat Suhail berhasil meneguhkan iman penduduk Makkah yang nyaris copot. Kepahlawanan Suhail tersiar hingga Madinah, menyusup ke telinga Umar bin Khattab. Kali ini ia sumringah dan bersyukur mendapatkan manfaat dari gigi-gigi Suhail yang tak jadi ia rontokkan. Umar, kali kedua dengan Suhail yang sama, rasa yang berbeda.
Wallahu a’lam.
Konsistensi Suhail dalam memusuhi Islam mencapai taraf akut sekaligus mengagumkan. Dia bersama Ikrimah bin Abu Jahal dan Shafwan bin Umayyah adalah beberapa orang yang masih ngeyel mengangkat pedang ketika terjadi Fathu Makkah. Saking menyebalkannya orang ini, Umar pernah ingin merontokkan gigi-gigi Suhail agar dia tak mampu lagi berorasi. Rasul melarang Umar, “mudah-mudahan esok ia akan menempati suatu tempat seperti yang engkau sukai.”
Rasul benar, Suhail pada gilirannya turut mencicipi manisnya iman. Jika sebelumnya ia menunjukkan komitmen yang luar biasa kepada para berhala, kini ia menjadi muslim yang kokoh imannya. Matanya sering basah disebabkan takutnya kepada Allah. Ia rajin mendirikan shalat dan berpuasa sebagai upaya menebus dosa masa lalunya.
Madinah geger ketika Rasul wafat, Umar yang segagah itupun tak mampu mewadahi kesedihan dengan hatinya yang menyempit. Untungnya Abu Bakar segera tampil dengan kalimatnya, “siapa yang menyembah Muhammad, sungguh Muhammad telah wafat. Siapa yang menyembah Allah, sungguh Allah tetap hidup dan tak akan pernah mati.” Kegelisahan penduduk Madinah terhapuskan oleh keberadaan Abu Bakar di antara mereka. (baca: Mengakrabi Krisis)
Kabar wafatnya Rasul berhembus sampai ke Makkah berpotensi memicu gelombang kemurtadan penduduknya yang baru beriman. Ath-thulaqa’, kelompok yang beriman ketika Fathu Makkah masih sangat rawan lepas imannya. Di masa kritis itulah Suhail bin Amr menunjukkan kelasnya sebagai orator. “Wahai orang-orang Quraisy,” Suhail berseru, “janganlah kalian menjadi orang-orang yang terakhir keislamannya dan paling awal kemurtadannya. Siapa yang membuat keragu-raguan pada kami maka kami akan menebas lehernya!”
Kalimat demi kalimat Suhail berhasil meneguhkan iman penduduk Makkah yang nyaris copot. Kepahlawanan Suhail tersiar hingga Madinah, menyusup ke telinga Umar bin Khattab. Kali ini ia sumringah dan bersyukur mendapatkan manfaat dari gigi-gigi Suhail yang tak jadi ia rontokkan. Umar, kali kedua dengan Suhail yang sama, rasa yang berbeda.
Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar