“Tidak ada kabilah yang saling bermusuhan begitu hebat seperti mereka,” komentar para pemuda Madinah mengenai negerinya. “Mudah-mudahan bersama Engkau, Allah akan mempersatukan mereka lagi,” lanjut mereka. Itulah sekelumit percakapan antara Rasul dengan enam orang pemuda Khazraj di Aqabah. Kalimat mereka menggambarkan suasana jiwa yang lelah dengan permusuhan. Pertemuan dengan Rasul serasa pas dengan gemuruh jiwa mereka yang ingin mendobrak ruang gelap tapi belum tahu caranya. Apalagi sejak awal pembicaraan Rasul telah berhasil menggelitik nalar kaum muda tersebut. “Dia adalah nabi yang dijanjikan oleh orang-orang Yahudi kepadamu, jangan sampai mereka mendahului kamu.” Para pemuda itu segera menyambut seruan Rasul setelah nalar membenarkannya.
Hadirnya enam pemuda revolusioner di Yatsrib dibarengi dengan matinya beberapa tetua Auz dan Khazraj dalam Perang Bu’ats. Saat itu kepemimpinan beralih kepada kaum muda yang lebih siap menerima perubahan. Di lain sisi, tidak ada figur yang cukup kuat untuk memimpin semua kalangan menjadikan kebutuhan akan pemimpin baru sebagai keniscayaan. Dengan kata lain, enam pemuda itu mendakwahkan kenabian Muhammad sebagai solusi segala carut marut Yatsrib.
Perjuangan orang pemuda itu membuahkan Baitul Aqabah pertama. Rasul kemudian mengirimkan Mush’ab bin Umair untuk menggenapi kobar semangat dakwah pemuda Yatsrib dengan sejuknya ilmu. Alur sejarah berubah ketika pada tahun ketiga belas dari kenabian puluhan orang Yatsrib mengucapkan sumpah setia kepada Rasul. Fase berikutnya adalah hijrahnya Rasul ke Yatsrib yang menjadikannya sebagai kota yang diliputi cahaya Islam, Madinah Almunawarah. Sesungguh, jika kita melihat lebih dalam maka pendar cahaya Madinah telah terlihat dari Yatsrib ketika enam orang pemuda Khazraj berjanji, “kepada mereka akan kami tawarkan pula agama yang telah kami terima darimu.”
Komentar
Posting Komentar