Rasul bertanya kepada Zaid bin Tsabit, “Wahai Zaid, apakah kamu bisa berbahasa Ibrani?” Zaid menjawab apa adanya, “belum ya Rasulallah.” Ketika Zaid ditanyai oleh sang Rasul seakan-akan ia mendengar kalimat lain yang tak terucapkan, “Jika tidak bisa maka belajarlah!” Sejak hari itu Zaid memutuskan untuk mempelajari seluk-beluk Bahasa Ibrani. Zaid memiliki efikasi diri, azzam kuat untuk meraih cita-cita, yang menyelamatkannya dari keterperosokan dalam jawaban retoris untuk membenarkan kelemahan diri sebagai kewajaran. Hanya lima belas hari sejak percakapan itu Zaid mampu menguasai Bahasa Ibrani. Tujuh belas hari kemudian ia juga menguasai Bahasa Suryani. Keren!
Zaid dan seluruh generasi terbaik umat ini adalah orang-orang yang membangun efikasi dengan baik. Sebagaimana pesan Rasul, wala ta’jiz—jangan merasa tidak mampu, jika tujuan telah ditetapkan maka kejarlah seakan tak ada lagi jalan kembali. Ketika Thariq bin Ziyad dan belasan ribu pasukannya mendarat di Andalusia mereka dihadapkan dengan ratusan ribu pasukan Visigoth yang sangat mengusai medan. Thariq dan pasukannya, sebagaimana pasukan muslim dalam banyak peperangan, tidak ciut nyalinya hanya karena kalah jumlah. Mereka tidak menjadikan keterbatasan sebagai kelemahan. Hanya ada dua pilihan utama, berjaya dengan menaklukkan musuh atau mulia sebagai syuhada’. Mereka tak harus membakar kapal untuk memotivasi diri karena sejatinya jalan pulang telah terbakar menjadi abu oleh efikasi diri.
Zaid bin Tsabit, Thariq bin Ziyad, para ulama dan mujahid lainnya memiliki kesabaran yang luar biasa untuk konsisten menapaki jalan menuju cita-cita. Mereka tidak mencla-mencle dalam beramal. Ketika Albiruni di ambang kematian ia mengundang tetangganya agar datang ke rumahnya bukan untuk meminta obat tapi untuk bertanya masalah fikih! Ia berkata, “lebih baik mana orang yang mati dengan menyimpan pertanyaan atau mati dengan lapang dada karena pertanyaan yang mengganggu pikirannya telah terjawab.” Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar