Ia mematung sesaat di depan pintu sebuah rumah yang tertutup. Sepi. Prediksinya benar, si pemilik rumah tentulah sedang tidur siang. Keinginannya untuk segera menemui pemilik rumah itu seperti ikan yang menhajatkan air. Ia bisa saja mengetuk pintu dan pemilik akan tergopoh membukakannya tapi ia tahu bagaimana adab terbaik dalam hal ini. Ia menunggu sambil menjadikan pakaian luarnya sebagai bantal. Angin berdebu menerpa tubuhnya.
Lelaki itu alhabru wa albahru, tinta dan lautan, si penerima anugerah pemahaman agama dan hikmah. Ia ditinggal wafat gurunya, Rasulullah, ketika usianya baru menginjak 13 tahun. Di usia itu ia telah matang menjadi shahabat yang kokoh cintanya terhadap ilmu, terutama hadis. Para ahli hadis mencatat sekitar 1600 riwayat dari dirinya.
Pemilik rumah yang akhirnya bangun dan membuka pintu berkata, “wahai putra paman Rasulullah apa yang menggerakkan Anda ke sini? Seandainya Anda mengirim utasan pastilah aku akan datang.” Lelaki mulia itu, Abdullah bin Abbas menjawab, “akulah yang harus datang sebab ilmu itu didatangi bukan mendatangi.”
Seratusan tahun kemudian Harun Alrasyid meminta kepada Imam Malik, “datanglah ke tempat kami agar kami dapat mendengarkan kitab Almuwatha’.” Imam Malik seperti mengulang perkataan Ibnu Abbas, “jika kalian memuliakannya (ilmu), ia jadi mulia. Jika kalian merendahkannya ia jadi hina. Ilmu harus didatangi bukan mendatangi.”
Ilmu itu didatangi bukan mendatangi. Guru itu didatangi bukan mendatangi murid. Eh!
Komentar
Posting Komentar