Suatu ketika datang seorang lelaki miskin kepada Nabi shallahu ‘alahi wa sallam. Dengan wajah sumringah ia mendekat. “Ya Rasulallah terimalah hadiah kecil dariku,” katanya sembari menyerahkan segenggam buah anggur. Nabi menerima hadiah itu dengan akhlak yang menyenangkan si pemberi. Syahdan, Beliau mulai menikmati butir anggur pertama, si lelaki miskin semakin sumringah sementara para shahabat yang ada di majlis tersebut berharap Nabi mengajak mereka turut makan. Butir kedua Beliau kunyah, tapi taka ada tanda-tanda untuk berbagi dengan para shahabat. Tiga, empat, lima hingga akhirnya semua anggur beliau habiskan sendirian. Si lelaki miskin kemudian undur diri dengan segala suka citanya.
Nabi menghadapkan pandangannya kepada para shahabat yang nampaknya masih heran dengan sikap Nabi yang tak biasa. “Ya Rasulallah, kenapa engkau memakan semua anggur itu sendiri dan sama sekali tidak menawarkan untuk salah satu dari kami,” kata seorang shahabat. “Aku memakan semua buah anggur itu karena rasanya masam. Jika aku menawarkannya kepada kalian, aku khawatir saat kalian memakannya wajah kalian akan menampakkan ekspresi tidak suka pada anggur itu,” kurang lebih demikian sabda Rasul. “…lebih baik aku memakan semuanya dan menyenangkan si pemberi.”
Saya pernah mengikuti seleksi kerja yang cukup menjanjikan, nilai ujian tulis saya aman, sesi ujian lainnya juga lancar. Saya optimis lulus tapi kenyataan tidak, ternyata sudah ada nama yang dipastikan lulus sebelum ujian dimulai. Dia tidak lolos ujian tulis lalu panitia mengubah ambang batas kelulusan menyesuaikan nilainya. Alhasil, pekerjaan itu tidak saya dapatkan tapi saya belajar bahwa hidup ini tidak hitam putih. Secara teknis saya gagal tapi situasinya tidak sesederhana itu, ada faktor yang tidak bisa saya kendalikan yang membuat tidak adil jika pilihannya hanya gagal dan sukses. Saya tidak sedang menghibur diri tapi hidup memang tidak selalu menyajikan dua pilihan yang berlawanan. Selalu ada wilayah abu-abu. Ketika nenek moyang kita masih hidup di alam liar bersama predator mereka dituntut untuk berpikir cepat antara bertarung atau lari. Hanya ada dua pilihan. Pola pikir sederhana ini menentukan hidup dan mati mereka. Cara berpikir yang menyederhanakan pilihan-pilihan kompleks ...
Komentar
Posting Komentar