“Seandainya aku mengangkat sebuah batu niscaya aku temukan emas di bawahnya,” kurang lebih demikian Abdurahman bin Auf menggambarkan bagaimana dunia tunduk padanya. Beliau adalah konseptor sekaligus ‘living model’ bagaimana semestinya seorang muslim mendapatkan kemudian menempatkan harta.
Pasca hijrah, Abdurrahman bin Auf menolak tawaran harta dan istri dari saudara ansharnya, Sa’ad bin Rabi’ dan hanya minta ditunjukkan lokasi pasar. Pada titik ini tergambar bahwa Abdurrahman bin Auf memiliki konsep yang jelas untuk mendapatkan harta dari titi nol. Beliau secara gamblang mencontohkan bagaimana memulai bisnis sebagai minoritas (muhajirin), miskin (karena seluruh hartanya ditinggal hijrah) dan di tempat yang sangat tidak mendukung (Pasar Yahudi Bani Qainuqa).
Abdurahman bin Auf memiliki dua belas istri dan enam “ummahatul aulad” (budak wanita yang melahirkan anaknya). Bukan kebetulan jika mayoritas dari istri beliau berasal dari Bani Abdi Syams (Bani Umayyah, keluarga Utsman) yang merupakan salah satu raksasa ekonomi Quraisy selain Bani Hasyim (keluarga Nabi) dan Bani Makzum (keluarga Abu Jahal). Pernikahan tersebut tentu saja mengangkat posisi Abdurrahman yang berlatar belakang Bani Zuhrah, terutama dalam urusan ekonomi. Semakin jelaslah cerdasnya Abdurrahman bin Auf memetakan hidupnya.
Jangan salah paham, bukan berarti pikiran shahabat mulia ini hanyalah masalah mendapat harta. Beliau hanya menggenggam harta di tangannya, tidak pernah menggeser iman di hatinya. Beliau sering menangis karena memiliki terlalu banyak harta dan khawatir jatah akhiratnya telah ia habiskan di dunia. Beliau menjadi bukti nyata bagaimana kedermawanan tidak mendatangkan kemiskinan. Iman juga menjadikan Beliau tidak silau dengan kapitalisme riba Pasar Yahudi Qainuqa, bahkan kemudian beliau menaklukkannya dengan ekonomi Islam.
Radhiyallahu ‘anhu, Abdurrahman bin Auf, shahabat mulia yang dijamin masuk surga. Manusia mulia yang kedermawanannya menaklukkan dunia.
Komentar
Posting Komentar