Pasukan muslim menuju Hunain dengan penuh keyakinan, mereka belum pernah memiliki jumlah sebesar itu sebelumnya. Di pihak lain, Malik bin 'Auf an-Nashri jenderal Kabilah Hawazin menginisiasi strategi perang yang belum pernah terpikirkan Bangsa Arab. Ia dan pasukannya menuju Lembah Authas dengan membawa wanita, anak-anak dan hewan ternak. “Aku ingin setiap personil berperang untuk mempertahankan keluarga dan harta mereka”, katanya. Itu mungkin ekspresi keputusasaannya setelah mendapatkan pukulan telak dari kabar kekalahan Suku Quraisy, suku super power.
Jumlah muslim yang banyak ternyata tidak memberikan manfaat di awal pertempuran. Kabilah Hawazin menggempur dengan tiba-tiba, menghujani pasukan muslim dengan anak panah. Para mualaf yang belum teguh imannya lari meninggalkan peperangan, merusak keseluruhan formasi pasukan. Mereka tidak lagi mempedulikan panggilan Rasulullah.
“Dan ingatlah peperangan Hunain, ketika waktu itu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah mereka, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikit pun dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan bercerai-berai” (QS At-Taubah: 25).
Aku adalah keturunan ‘Atiqah! Seru Rasulullah sembari memacu tunggangannya menuju pasukan musuh. Kemudian Rasulullah meminta Abbas untuk memanggil kembali kaum muslimin. “Serulah orang-orang Anshar! Serulah orang-orang yang berbaiat kepadaku di bawah pohon Samara!” kata Rasul.
Teriakan Abbas menggema di seluruh lembah, terdengar oleh kaum muslimin, mereka terhenyak pada baiat mereka, pada masa-masa yang mengokohkan kesetiaan. Rasul tidak memanggil suku mereka, kabilah mereka atau bangsa mereka. Rasul memanggil mereka dengan sebutan-sebutan yang membangkitkan masa lalu yang mungkin terlupakan. Kenangan yang meneguhkan jiwa, membawa mereka kepada Rasulnya. Mereka berbalik arah meski harus menyeret tunggangan mereka.
(bersambung)
Komentar
Posting Komentar