Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Gigi Seri Suhail

Suhail bin Amr adalah orator kebanggaan Suku Quraisy. Ketika tiba masa Islam, dia menjadi salah satu musuh besar dakwah Rasul. Dialah yang memprovokasi para jamaah haji agar tidak mendengarkan seruan dakwah. Dia juga yang menjadi perwakilan kafir Quraisy dalam Perjanjian Hudaibiyah yang melegenda. Diksi-diksi yang ia pilih dalam perjanjian itu menunjukkan kepiawaiannya sebagai politisi kelas kakap bahkan paus. Konsistensi Suhail dalam memusuhi Islam mencapai taraf akut sekaligus mengagumkan. Dia bersama Ikrimah bin Abu Jahal dan Shafwan bin Umayyah adalah beberapa orang yang masih ngeyel mengangkat pedang ketika terjadi Fathu Makkah. Saking menyebalkannya orang ini, Umar pernah ingin merontokkan gigi-gigi Suhail agar dia tak mampu lagi berorasi. Rasul melarang Umar, “mudah-mudahan esok ia akan menempati suatu tempat seperti yang engkau sukai.” Rasul benar, Suhail pada gilirannya turut mencicipi manisnya iman. Jika sebelumnya ia menunjukkan komitmen yang luar biasa kepada para berhala, ...

Moral Jahiliyah

Rasul memasuki Makkah sambil membaca surah Alfath dengan penghayatan atas nikmat dan ampunan. Setelah Makkah benar-benar tunduk, Rasul berbicara di hadapan orang-orang, “tidak ada sesuatu yang akan menimpa kalian. Hari ini Allah telah mengampuni kalian.” Beliau memberikan amnesti umum bagi penduduk Makkah sebagaimana Yusuf memaafkan saudara-saudaranya. Kemuliaan akhlak Rasul mendorong penduduk Makkah untuk masuk Islam secara berbondong-bondong. Rasul membaiat kaum perempuan setelah kaum laki-laki. Beliau membaiat mereka agar tidak musyrik, mencuri, berzina, membunuh anak, berdusta dan mendurhakai perbuatan baik. Ketika Rasul menyebutkan larangan berbuat zina, Hindun binti Utbah berkata, “apakah ada perempuan merdeka yang berzina?” Pertanyaan Hindun akan terasa ganjil bagi kebanyakan manusia yang beranggapan bahwa masa jahiliyah identik dengan perzinaan tanpa terkecuali. Perilaku masyarakat menjelang kerasulan Muhammad memang jahiliyah. Di antara bentuknya adalah merebaknya perzinaan ya...

Hidayah dalam Pusaran Amarah

Perang yang berujung kalah menang adalah hal biasa bagi Kafir Quraisy. Hanya saja kekalahan mereka di Perang Badar terasa jauh lebih pahit dari semua kekalahan. Para pembesar mereka tewas di tangan kaum rendahan menurut perspektif masyarakat jahiliyah. Abu Jahal dihabisi oleh Ibnu Mas’ud, seorang penggembala sekaligus keturunan budak. Umayyah bin Khalaf tewas di tangan mantan budaknya sendiri, Bilal bin Rabbah. Dada Shafwan bin Umayyah bin Khalaf dijejali dendam sehingga ia tak mampu lagi tersenyum. Ia merasa Perang Badar telah keluar dari tradisi perang yaitu seseorang berhadapan dengan orang yang sederajat. “Demi Allah tidak ada kebaikan dalam hidup ini setelah mereka mati,” katanya kepada Umair bin Wahb. Umair bin Wahb mengatakan bahwa bila bukan karena beban hutang dan keluarga ia tak akan segan membunuh Muhammad di Madinah. Shafwan berbinar, ia segera mengambil kesempatan. Shafwan mengatakan bahwa hutang dan keluarga Umair akan ia tanggung asalkan Umair berani mengeksekusi Muham...

The Chronicle of Badar

Sebagai seorang pemimpin perang Rasul tidak semata-mata mengandalkan bantuan para malaikat yang dengan mudah melibas musuh. Beliau bersungguh-sungguh dalam mengadakan sebab terwujudnya harapan sembari yakin bahwa Allah akan memudahkan. Beliau mempertimbangkan faktor alam, waktu dan hal-hal lain yang mungkin tidak terpikirkan orang lain. Beliau berpagi-pagi menuju Badar mendahului pasukan kafir Quraisy dan mengatur pasukannya untuk membelakangi matahari terbit. Jenius! Posisi tersebut memberi maslahat kepada pasukan muslim karena pihak kafir Quraisy mau tidak mau akan menempati posisi menghadap matahari. Silau. Rasul menata pasukannya sebagaimana meluruskan barisan shalat. Beliau berpesan agar pasukannya tidak menghunus pedang kecuali musuh telah sampai kepada mereka. Di barisan terdepan adalah para pemegang tombak disusul para pemanah. Pembawa tombak akan merepotkan pasukan berkuda untuk merangsek ke dalam barisan muslimin. Di baris kedua, pasukan pemanah akan melindungi penombak dari...

Sedekah Kesombongan

Khalid bin Walid memenuhi undangan pemimpin pasukan Romawi, Mahan, untuk berunding. Khalid berlalu dengan tenang melewati lapis-lapis pasukan di kanan dan kirinya. Apalah yang bisa menggertak seseorang yang hampir si setiap bagian tubuhnya telah dipenuhi bekas luka perang. Motivasi Khalid adalah bisyarah Rasul, ia sepenuhnya yakin bahwa muslim pasti menaklukkan Romawi, dengan atau tanpa dirinya. Ia santai saja ketika tuk-tik-tak-tik-tuk suara sepatu kuda perang Romawi melagukan nada teror. “Kami mengetahui bahwa motivasi kalian keluar dari negeri kalian tak lain hanya soal kelaparan dan kesulitan,” kata Mahan. Ia kemudian menawarkan sejumlah harta untuk seluruh pasukan muslim asalkan mereka kembali ke negerinya tanpa perang. Khalid geregetan dengan pelecehan tersebut. Begitulah adanya, di era para shahabat pun orang-orang kafir melihat kaum muslimin sebagai kelompok marginal, miskin, persis seperti bagaimana mereka melihat muslimin hari ini. History repeats itself... “Motiv...

Menyederhanakan Cinta

Pemukiman Bani Ma’an dikagetkan oleh serangan perampok Badui. Harta mereka dirampas habis dan sebagian penduduknya ditawan termasuk seorang bocah bernama Zaid. Gerombolan perampok itu kemudian pergi ke Pasar Ukazh untuk menjual hasil rampasan dan tawanan mereka. Si kecil Zaid yang turut dilelang dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk dihadiahkan kepada Khadijah, bibinya. Meski di masa itu wahyu belum turun, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kemuliaan akhlaknya segera memerdekakan Zaid. Ketika pada akhirnya Zaid bertemu dengan ayah kandungnya, ia memilih tetap bersama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di rumah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Zaid belajar makna cinta yang lebih tinggi dari ikatan nasab. Sejak hari itu Rasul mengangkatnya menjadi anak sehingga seluruh Makkah mengenalnya sebagai Zaid bin Muhammad. Nama mulia itu tetap melekat pada Zaid hingga akhirnya syariat menghapuskannya dan ia kembali dipanggil sebagai Zaid bin Haritsah. Di masa setelah tradisi an...

Pertanyaan

“Apakah Anda tahu orang yang lebih berilmu daripada Anda?” “Tidak,” maka Allah mewahyukan kepada Musa, “ada ya Musa, dia adalah Khidir.” Allah kemudian memerintahkan Nabi Musa untuk ngangsu kaweruh kepada Khidir sebagaimana termuat dalam surah Alkahfi. Wallahu a’lam, jawaban Nabi Musa seakan menyiratkan karakternya yang cenderung tidak rendah hati tapi bukankah itu yang kiranya cocok untuk menghadapi manusia paling sombong, Firaun, dan umat paling angkuh, Bani Israil? Ibnu Abbas, sang penghimpun ilmu, suatu ketika merontokkan jantung seorang penduduk Iraq yang jauh-jauh menemuinya untuk menanyakan sesuatu. “Beri aku hal-hal besar, dan masalah-masalah sepele itu berikan saja pada orang lain!” Demikianlah kira-kira sebaris kalimat yang mengguncang, yang jelas nyelekit tapi Ibnu Umar pun pernah menunjukkan sikap serupa, “mereka bertanya perihal darah nyamuk padahal tangannya berlumuran darah cucu Rasulullah!” Ya, jiwa yang dipenuhi visi-visi besar memang tidak menyisakan ruang untuk...

Spesialisasi

Rasul nampak heran ketika ada seseorang dari kaum pembegal dengan kesadarannya sendiri menjadi orang kelima atau enam yang meraih iman. Rasul bahkan tidak mengenalnya ketika ia tiba-tiba datang, minta dibacakan Alquran dan tanpa basa-basi bersyahadat. Namun keislaman tidak seketika menguapkan gaya pembegal ala kabilah Ghifar dalam diri lelaki itu. Dia adalah orang pertama yang meneriakkan Islam di Masjidil Haram padahal Islam masih didakwahkan dengan bisik-bisik! Gara-gara aksi nekatnya itu ia dikeroyok hingga babak belur bahkan pingsan. Ngeyel , saat siuman kalimat syahadat kembali meluncur dari lisannya. Demikianlah epik Jundub Bin Junadah alias Abu Dzar Alghifari melewati hari pertamanya menjadi muslim. Bertahun kemudian Abu Dzar terlihat di antara kepulan debu yang terbang karena hentakan kaki-kaki hewan tunggangan dan pejalan kaki. Andaikan kumpulan manusia itu tidak berulang meneriakkan takbir, warga Madinah mungkin akan menyangka pasukan Quraisy sedang menyerang mereka. Untuk ...

Dia Satu-Satunya

Ia bukan rasul maupun nabi tapi lebih dari seratus ayat membicarakannya. Ia menghimpun dua kriteria yang mengokohkan kemuliaan dalam masyarakat Quraisy jahiliyah, kekayaan dan kecerdasan. Kebunnya membentang dari Makkah hingga Thaif. Anak-anaknya tak mesti berdagang karena limpahan kekayaan yang berlebih darinya, mereka bebas mempelajari keterampilan lain guna melestarikan kehormatan nasab. Itulah sebab di kemudian hari salah satu anaknya akan tumbuh menjadi jendral perang yang tidak pernah kalah di masa jahiliyah maupun Islam, Khalid. Ia dijuluki ‘pemberi bekal bagi musafir’ dan ‘satu-satunya’. Ia adalah orang pertama yang melepaskan sandal saat memasuki rumah Allah. Ia pemuka dalam renovasi Ka’bah dan menyaratkan iuran harta untuk perbaikannya bukanlah hasil riba, judi, melacur dan hal buruk lainnya. Ia mengharamkan khamr untuk diri dan anaknya. Ia pula yang menetapkan hukum potong tangan bagi para pencuri. Sebagian buah pikirannya mengabadi setelah disahkan Rasul sebagai syariat....

Ekspresi Rasa

Sebaik-baik generasi shahabat radhiyallahu ‘anhum , mereka tidak bisa menanggalkan sifat-sifat manusia. Secerdas dan alimnya Aisyah, toh , ia pernah membanting nampan sebab cemburu. Semulia-mulianya akhlak Abu Bakar dan Umar, keduanya juga pernah cek-cok sampai Rasul perlu turun tangan untuk mendamaikan. Jihad Thalhah mungkin saja mempesona tapi soal asmara lain urusannya. Saat bermakmum kepada Rasul, umumnya shahabat memang berebut shaf pertama tapi pernah ada yang berlaku sebaliknya. Alasan munculnya kelompok nyeleneh ini adalah hadirnya seorang wanita teramat cantik yang gemar menempati shaf terdepan di barisan wanita. “Demi Allah, aku belum pernah melihat wanita secantik dia.” Kata Ibnu Abbas. Wanita itu mendorong sebagian shahabat untuk lebih bergegas mengisi shaf depan demi menghindari fitnah tapi ada pula yang justru memperlambat diri agar leluasa curi-curi pandang. Allah Yang Maha Lembut tidak lantas melaknat perilaku kelompok yang suka curi-curi pandang saat berjamaah. Alla...

Terlambat

Abu Jandal bin Suhail kabur dari Makkah untuk menemui kaum muslimin di Hudaibiyah. Setelah bersusah mencapai tujuannya ia justru terperangkap dalam situasi yang lebih rumit dari dugaan. Ia tiba ketika Rasul baru saja menyetujui perjanjian Hudaibiyah yang mengharuskan Rasul mengembalikan warga Makkah yang minggat ke pihak muslimin. Ironis, perwakilan kafir Quraisy dalam perjanjian itu adalah ayahnya, Suhail bin Amr, sementara salah satu saksi dari pihak muslim adalah Abdullah bin Suhail, saudaranya. “Wahai muslimin, akui dan lindungi aku!” Abu Jandal berteriak getir. Suhail bin Amr yang geram lantas menarik kerah baju anaknya itu dan menyeretnya. Abu Jandal berteriak-teriak memelas, mengaduk-aduk perasaan dan emosi kaum muslimin yang menyaksikan episode itu. Komitmen Rasul dan para shahabat diuji dengan sangat keras hanya beberapa menit setelah perjanjian disepakati. Pihak kafir Quraisy yang sedari awal sudah seperti kesurupan ingin berperang, bisa saja bertindak ngawur jika perjanjian ...

Sumpah Pemuda

“Tidak ada kabilah yang saling bermusuhan begitu hebat seperti mereka,” komentar para pemuda Madinah mengenai negerinya. “Mudah-mudahan bersama Engkau, Allah akan mempersatukan mereka lagi,” lanjut mereka. Itulah sekelumit percakapan antara Rasul dengan enam orang pemuda Khazraj di Aqabah. Kalimat mereka menggambarkan suasana jiwa yang lelah dengan permusuhan. Pertemuan dengan Rasul serasa pas dengan gemuruh jiwa mereka yang ingin mendobrak ruang gelap tapi belum tahu caranya. Apalagi sejak awal pembicaraan Rasul telah berhasil menggelitik nalar kaum muda tersebut. “Dia adalah nabi yang dijanjikan oleh orang-orang Yahudi kepadamu, jangan sampai mereka mendahului kamu.” Para pemuda itu segera menyambut seruan Rasul setelah nalar membenarkannya. Hadirnya enam pemuda revolusioner di Yatsrib dibarengi dengan matinya beberapa tetua Auz dan Khazraj dalam Perang Bu’ats. Saat itu kepemimpinan beralih kepada kaum muda yang lebih siap menerima perubahan. Di lain sisi, tidak ada figur yang cuku...

Ujung Pertikaian

Pertikaian Thalhah dan Ali dalam Perang Jamal sesungguhnya tidak lebih dari pertikaian dua orang bersaudara yang saling ngeyel dengan ijtihadnya. Sekedar tentang ‘pokoknya gini!’ bukan atas dasar benci apalagi dendam. Ketika Thalhah dan Ali benar-benar berhadapan dalam kecamuk perang, nyatanya mereka tidak saling serang. Ali menasihati Thalhah, mengingatkannya pada pesan-pesan Rasul. Kenangan Thalhah tentang masa di saat Rasul masih hidup di antara mereka berdua menyeruak. Thalhah pun pergi meninggalkan peperangan namun nahas, sebuah anak panah misterius tiba-tiba melesat membunuhnya. Setelah perang Jamal, ketika Ali melihat kedatangan Imran bin Thalhah maka ia langsung menyambutnya dan berkata kepadanya, “Aku berharap Allah menjadikan aku dan ayahmu termasuk orang-orang yang difirmankan Allah tentang mereka, “dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka; mereka merasa bersaudara, duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” Seseorang dalam majelis ...

Membebas Cinta dari Beban Makna

“Ya Rasulallah, aku mencintaimu seperti aku mencintai diriku sendiri.” Umar terdengar melankolis ketika mengucapkan kalimat tersebut. “Tidak ya Umar,” jawab Rasul, “engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada dirimu dan keluargamu.” Tidak, ini bukan percakapan basa-basi yang mungkin tengah kita bayangkan. Umar tidak lantas jadi kikuk ketika mendapati Rasul menjawab seperti itu. “Ya Rasulallah, mulai sekarang engkau lebih aku cintai dari apapun di dunia ini,” kata Umar. “ Nah gitu , ya Umar!” Rasul menanggapi. C inta para shahabat kepada Rasul adalah keberhasilan menundukkan hati bukan sebaliknya. Mencinta dan membenci hanyalah pilihan yang bisa digiring menurut kehendak, sesederhana itu. Ekspresi cinta Abu Bakar adalah “Aku percaya padamu ya Rasul,” sementara Umar menerjemahkan rasa cintanya dengan “biar kupenggal lehernya ya Rasul!” Cinta jenis ini tak banyak berjanji, ia tumbuh dengan memberi. Ketika seorang wanita dari Bani Dinar mendengar bahwa suami, saudara dan ayahnya mening...

Membakar Jalan Pulang

Rasul bertanya kepada Zaid bin Tsabit, “Wahai Zaid, apakah kamu bisa  berbahasa Ibrani?” Zaid menjawab apa adanya, “belum ya Rasulallah.” Ketika Zaid ditanyai oleh sang Rasul seakan-akan ia mendengar kalimat lain yang tak terucapkan, “Jika tidak bisa maka belajarlah!” Sejak hari itu Zaid memutuskan untuk mempelajari seluk-beluk Bahasa Ibrani. Zaid memiliki efikasi diri, azzam kuat untuk meraih cita-cita, yang menyelamatkannya dari keterperosokan dalam jawaban retoris untuk membenarkan kelemahan diri sebagai kewajaran. Hanya lima belas hari sejak percakapan itu Zaid mampu menguasai Bahasa Ibrani. Tujuh belas hari kemudian ia juga menguasai Bahasa Suryani. Keren! Zaid dan seluruh generasi terbaik umat ini adalah orang-orang yang membangun efikasi dengan baik. Sebagaimana pesan Rasul, wala ta’jiz—jangan merasa tidak mampu , jika tujuan telah ditetapkan maka kejarlah seakan tak ada lagi jalan kembali. Ketika Thariq bin Ziyad dan belasan ribu pasukannya mendarat di Andalusia mereka dih...

Move On

Kesedihan hanya menusuk sedalam yang kita izinkan! Duka atas kematian para shahabat dalam Perang Uhud tak menjadikan Rasul kehilangan kewaspadaannya terhadap musuh yang mungkin kembali menyerang. Setelah perang berakhir Beliau mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membuntuti pasukan musyrikin dan menyelidiki pergerakan mereka. Kewaspadaan Rasul dan kemampuan beliau untuk memprediksi gerakan musuh terbukti akurat. Ali melaporkan bahwa pasukan musuh menunjukkan gelagat ingin menyerang Madinah. Esok harinya Rasul menyeru pasukannya untuk kembali berjihad. “Janganlah keluar bersama kami kecuali orang-orang yang ikut bersama kami dalam Perang Uhud kemarin!” Para shahabat segera menjawab seruan Rasul, termasuk mereka yang sedang terluka parah. Bahkan di antara mereka ada yang belum sempat memasuki rumahnya. Sami’na wa atha’na , kini tak seorang pun dari mereka yang berambisi untuk merebut ghanimah. Pasukan yang masih lemah itu lantas bergerak mengejar kaum musyrikin. Rasul tinggal di Hamraul ...

Wanita di bawah Kilauan Pedang

Dalam Perang Hunain, Malik bin ‘Auf an-Nashri Jendral Kabilah Hawazin menginisiasi strategi perang yang belum pernah terpikirkan Bangsa Arab. Ia dan pasukannya menuju Lembah Authas membawa para wanita, anak-anak dan hewan ternak. “Aku ingin setiap personil berperang (gila-gilaan) untuk mempertahankan keluarga dan harta mereka” , katanya. Itu mungkin ekspresi keputusasaannya setelah mendapatkan pukulan telak dari kabar kekalahan Suku Quraisy. Tidak seperti wanita Hawazin yang digiring Malik bin ‘Auf bak hewan sembelihan, para muslimah yang terlibat dalam perang Hunain hadir sebagai ekspresi keberanian berlandaskan keimanan. “Jika ada orang musyrik mendekatiku maka aku akan membelah perutnya,” kata Ummu Sulaim sambil membawa sebuah parang (pedang). Bahkan ketika para lelaki yang belum teguh imannya kocar-kacir karena gempuran musuh yang tiba-tiba, Ummu Sulaim tetap kokoh dalam kewaspadaannya. Ummu Sulaim hadir dalam beberapa peperangan. Dalam Perang Uhud Ummu Sulaim dan Aisyah menjadi ...

Kenangan yang Mendamaikan (2)

Kaum muslimin dalam lelah menuju Madinah. Mereka baru saja berjihad mengepung pemukiman Bani Musthaliq. Kemenangan besar yang mereka raih tidak lantas menyembuhkan luka secara tiba-tiba. Bekas sabetan pedang atau tusukan tombak masih menawarkan anyir darah. Sebagaimana debu jihad yang belum sepenuhnya gogrok, kepayahan juga masih menggelayut. Sebaik-baik umat tetaplah manusia yang memiliki dinamika rasa. Dalam perjalanan meletihkan itu, Muhajirin dan Anshar yang biasa mendahulukan saudaranya, saling berselisih hanya karena air. Perselisihan itu termanfaatkan dengan baik oleh kaum munafik untuk menyulut emosi dan mengobarkan fitnah. Celakanya dua orang yang mula-mula bertikai itu masing-masing mewakili Anshar dan Muhajirin. Abdullah bin Ubai segera memainkan isu SARA, ia adalah dedengkot barisan sakit hati yang menganggap datangnya Rasul ke Madinah telah menggeser kapasitasnya sebagai raja. Mengetahui kemunafikan Abdullah bin Ubai, Umar ingin membunuhnya namun dicegah oleh Rasul. “Bia...

Melik Nggendhong Lali

Atikah binti Zaid adalah seorang shahabiyah yang menghimpun berbagai keutamaan yang sulit dieja. Ayahnya, Zaid bin Amr bin Nufail adalah manusia agung yang selamat dari kemusyrikan di masa tanpa kenabian. Saudaranya, Said bin Zaid adalah salah seorang shahabat yang dipastikan masuk surga. Kemuliaan nasab Atikah digenapi dengan kualitas diri yang pada gilirannya akan melumerkan hati Ali, Zubair bahkan Umar. Kecantikan dan kefasihan lidahnya cukup untuk membuat seseorang melalaikan jihad! Suami pertama Atikah, Abdulllah bin Abu Bakar, menyebutnya sebagai wanita yang gerak-geriknya menggelorakan cinta. Kecintaan Abdullah kepada Atikah mencapai taraf yang cukup akut hingga melalaikannya dari urusan agama. Kondisi tersebut mendorong Abu Bakar untuk menyuruh putranya menceraikan Atikah. Namun ratapan-ratapan patah hati Abdullah saat berpisah dengan istrinya menjadikan Abu Bakar kasihan dan mengizinkan keduanya rujuk. Ironisnya, ketika Abdullah membersamai Rasul berjihad dalam Perang Thaif se...

Ia Didatangi bukan Mendatangi

Ia mematung sesaat di depan pintu sebuah rumah yang tertutup. Sepi. Prediksinya benar, si pemilik rumah tentulah sedang tidur siang. Keinginannya untuk segera menemui pemilik rumah itu seperti ikan yang menhajatkan air. Ia bisa saja mengetuk pintu dan pemilik akan tergopoh membukakannya tapi ia tahu bagaimana adab terbaik dalam hal ini. Ia menunggu sambil menjadikan pakaian luarnya sebagai bantal. Angin berdebu menerpa tubuhnya. Lelaki itu alhabru wa albahru , tinta dan lautan, si penerima anugerah pemahaman agama dan hikmah. Ia ditinggal wafat gurunya, Rasulullah, ketika usianya baru menginjak 13 tahun. Di usia itu ia telah matang menjadi shahabat yang kokoh cintanya terhadap ilmu, terutama hadis. Para ahli hadis mencatat sekitar 1600 riwayat dari dirinya. Pemilik rumah yang akhirnya bangun dan membuka pintu berkata, “wahai putra paman Rasulullah apa yang menggerakkan Anda ke sini? Seandainya Anda mengirim utasan pastilah aku akan datang.” Lelaki mulia itu, Abdullah bin Abbas menjaw...

Kesayangan Anak Kesayangan

Ia lahir dari rahim Ummu Aiman, wanita yang Rasul panggil sebagai ibu setelah Aminah wafat. Ayahnya adalah Zaid bin Haritsah yang sebelum adanya larangan Allah dipanggil sebagai Zaid bin Muhammad. Alhibb wa ibnil hibb , kesayangan anak kesayangan, demikianlah ia kemudian dijuluki. Usianya sebaya dengan Hasan bin Ali sehingga Rasul sering momong keduanya. “Ya Allah Aku mencintai kedua anak ini maka cintailah mereka!” Dialah Usamah bin Zaid bin Haritsah, ‘cucu’ kesayangan Rasul. Usamah bin Zaid telah mencintai jihad bahkan sebelum ia kuat mengangkat pedang dengan baik. Menjelang perang Uhud Usamah meminta kepada Rasul agar diterima sebagai pasukan namun Rasul menolaknya karena belum cukup umur. Menjelang perang Khandak Usamah kembali mengikuti seleksi pasukan, ia menegap-negapkan badannya agar terlihat lebih tinggi supaya Rasul mau menerimanya. Dalam usia yang masih belasan Usamah telah membuktikan kelayakannya menjadi mujahid. Ketika pasukan muslimin kocar-kacir dalam Perang Hunain, han...

Menakar Kebencian

Orang-orang Yahudi Qainuqa’ tertawa terbahak-bahak melihat muslimah yang mereka buka auratnya menjerit-jerit. Seorang lelaki muslim yang tidak terima dengan kegilaan itu kemudian dikeroyok, diikat dan dibunuh. Mereka ingin menunjukkan bahwa nyali mereka tidak ciut di hadapan Rasul dan kaum muslimin yang baru saja memenangkan Perang Badar. Yahudi Madinah adalah kelompok yang sejak awal secara terang-terangan memusuhi kaum muslimin. Posisi Rasul yang mulanya belum kokoh menjadikan kesewenang-wenangan mereka tidak pernah terbalas. Dominasi Yahudi di berbagai bidang kehidupan Kota Madinah adalah bahan bakar arogansi mereka. Mereka memang mulai memperhitungkan posisi muslimin pasca memenangkan Perang Badar tapi belum terlalu mencemaskan keadaan. Kejadian di Pasar Yahudi Qainuqa’ menjadikan Rasul geram, apalagi pihak Yahudi menanggapi kecaman Rasul dengan nada merendahkan. Mereka mengatakan bahwa Rasul memenangkan Perang Badar karena lawannya hanyalah orang-orang yang bodoh masalah peran...

Kesederhanaan yang Menaklukkan

“Bukan anda orang yang berhak menerima kunci Alquds,” kata uskup Nasrani kepada Amru bin Ash. Episode ini terjadi ketika Alquds memilih jalan damai setelah negeri  di sekitarnya dibebaskan kaum muslimin di bawah komando Khalid dan Abu Ubaidah. “O, kalau itu sih Umar, pemimpin kami di Madinah.” Jawab Amru bin Ash setelah sang uskup menyebutkan ciri-ciri orang yang berhak menerima kunci Alquds menurut kitab suci mereka. Umar mendatangi undangan ke Palestina bersama seorang asistennya. Mereka mengendarai seekor bighal (peranakan kuda) secara bergantian dari Madinah hingga Alquds. Sekian kilo Umar jalan kaki sekian kilo berikutnya giliran asistennya. Qadarullah ketika memasuki Palestina, Umar lah yang mendapat giliran jalan kaki. Apa terlihat saat itu sama sekali berbeda dengan yang biasanya ditampilkan oleh pemuka Byzantium. Arakan warga Palestina yang mulanya riuh ingin melihat Umar mulai mengerenyitkan dahi. Penampilan Umar jauh di bawah ekspekstasi warga Palestina yang dikena...

Salah Kaprah Madinah

Kota sarang penyakit yang lembah-lembahnya mengalirkan air keruh penuh dengan kuman. Kota yang sudah lelah dan bosan dengan pertikaian di antara penduduknya yang berwatak keras dan arogan. Kota yang ekonominya dikacaukan oleh hegemoni pasar Yahudi. Kota itulah yang kemudian disebut dengan Madinah. Hijrah tidak memberikan kelapangan hidup dengan tiba-tiba bagi Kaum Muhajirin. Ia tidak juga menawarkan cinta sebagaimana Makkah. Rasul bersabda, “demi Allah, engkau (Makkah) adalah sebaik-baik bumi, dan bumi Allah yang paling dicintai-Nya. Seandainya Aku tidak diusir darimu, aku tidak akan pernah keluar (meninggalkanmu).” Banyak Kaum Muhajirin yang tertimpa wabah ketika tiba di Madinah. Saat Aisyah berkunjung ke rumah Abu Bakar, ia mendapatinya sedang sakit parah bersama Bilal dan Amir bin Fuhairah. Ketiga shahabat tersebut bahkan tidak menyadari apa yang mereka katakan karena parahnya kondisi mereka. Mengetahui hal itu Rasul berdoa, “ya Allah jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana ka...

Ketika Nabi Tak Mau Berbagi (2)

“Siapa yang paling Engkau cintai?” Tanya Amru bin Ash. “Aisyah.” Jawab   Rasul. “Maksudku dari kalangan laki-laki.” “Bapaknya Aisyah." Aisyah adalah cinta yang unik. Manja tapi cerdas, yang bermanja dengan cerdas. Ia cerdas ketika tak jua mau diajak pulang saat ‘nonton’ bersama Rasul, bukan karena ia menikmati pertunjukan tapi ia ingin orang lain mengetahui kedudukannya di samping Rasul. Ia cerdas ketika berdoa “Ya Rabb Ibrahim” bukan “Ya Rabb Muhammad” lantaran sedang ngambek dengan Rasul. Ia yang membanting nampan karena cemburu. Ia pula yang menghimpun sekian banyak ilmu dari Rasul, menguasai ilmu nasab, syair hingga pengobatan. Aisyah. Suatu hari ia berdiri di dekat gerbang kota Madinah dengan kerinduan membuncah. Samar-samar ia mendengar deru pasukan semakin mendekat. Sang Rasul baru saja pulang dari jihadnya. Aisyah segera menyambut kedatangan Rasul dengan segelas minuman. Rasulullah meminumnya perlahan, dengan adab terindah seorang lelaki. Tegukan demi tegukan hingga hampir...

Bukan Pahlawan Khaibar

Lelaki itu menghunus pedangnya dalam kecamuk Perang Khaibar. Matanya tajam memburu setiap gerak pasukan musuh. Tak seorang musuh pun yang berlalu dalam pengawasannya kecuali ia buru dan tebas dengan pedangnya. Ia mengagumkan! Semua gambaran keagungan itu rontok ketika Rasul bersabda, “sungguh orang itu termasuk penduduk neraka!” Shahabat berkata, “kalau begitu siapa di antara kami yang menjadi penduduk surga bila orang seperti itu saja menjadi penduduk neraka?” Shahabat menyikapi pernyataan Nabi yang terasa ganjil itu dengan sikap introspeksi diri bukan penolakan. Lelaki itu semakin dalam menusuk jantung pertahanan musuh. Aksi heroiknya barulah terhenti ketika sebuah serangan yang tak terhindarkan melukainya hingga sekarat. Luka yang menganga dan darah merah menyala menggelapkan dunianya. Dengan nafas yang terputus-putus ia kumpulkan sisa-sisa tenaganya untuk meletakkan ujung pedangnya di dadanya, menusuk sendiri jantungnya. Shahabat yang mengetahui kejadian tersebut segera mendatangi ...

Peran-Peran Cerdas dalam Hijrah Rasul

Abu Bakar Ketika matahari masih berada pada puncak panasnya Rasulullah mendatangi Abu Bakar. “Sungguh Aku telah diizinkan untuk keluar berhijrah,” kata Rasul. “Ditemani oleh shahabatku,” lanjut Beliau. Abu Bakar menangis, yang Aisyah sebut sebagai tangis kebahagiaan yang belum pernah ia temui sebelumnya. “Ya Rasulallah sungguh hewan tunggangan ini telah aku siapkan untuk berangkat hijrah,” kata Abu Bakar. Begitulah cerdasnya Abu Bakar, ia telah mempersiapkan jawaban atas seruan hijrah bahkan sebelum percakapan hari itu dimulai. Tidak ada yang mengetahui hijrahnya Nabi kecuali Abu Bakar beserta keluarganya dan Ali bin Abi Thalib. Ali mendapat tugas menggantikan Rasul di tempat tidur beliau di malam ketika rumah beliau dikepung orang-orang Quraisy. Ali juga bertugas untuk mengembalikan amanah masyarakat Quraisy yang masih ditanggung Rasul. Dakwah Rasul memang diingkari kafir Quraisy tapi Beliau tetap menjadi kepercayaan dalam urusan lainnya. Abdullah bin Abu Bakar Setelah Rasul dan Abu B...

Mengadulah Kepada Para Wanita

Hari itu Rasulullah sedang galau menyikapi para shahabat yang ngambek. Tak ada “ sami’na wa atha’na” ketika Rasul menyeru mereka. Shahabat mengadakan aksi mogok lantaran merasa kecewa dengan Perjanjian Hudaibiyah yang mencegah mereka memasuki Makkah tahun itu. “Bangkitlah, sembelihlah hewan kalian dan bercukurlah!” tiga kali Nabi berseru tapi tak ada yang menggubris. Rasul kemudian masuk dan mengadukan masalahnya kepada istrinya, Ummu Salamah. Beliau radhiyallahu ‘anha menenangkan Rasul dan menyarankan agar beliau menyembelih hewan tanpa menunggu para shahabat. “Bangkitlah, jangan bicara pada siapapun hingga engkau menyembelih hewan dan memanggil seseorang untuk mencukur rambutmu,” demikian saran Ummu Salamah. Ketika hal itu dilakukan, sontak para shahabat berdiri dan berlomba untuk menyembelih dan mencukur rambut. Ummu Salamah berhasil melapangkan kesempitan Rasul dengan pendapat pribadinya, bahkan tanpa dalil. Khadijah menghangatkan hati Nabi ketika permulaan turunnya wahyu. Ada b...

Andai Aku Tahu Cara Menyembah-Mu

“Ya Allah andai aku tahu cara yang paling Engkau sukai untuk aku menyembah-Mu, namun aku tidak tahu,” lelaki tua itu kemudian bersujud. Sewaktu ia menyandarkan tubuhnya ke Ka’bah ia berkata, “wahai Bangsa Quraisy, demi yang jiwa Amr bin Nufail berada di tangan-Nya, tidak ada di antara kalian yang berjalan di atas Millah Ibrahim kecuali aku! Ia adalah orang yang dermawan. Ia adalah lelaki yang menyelamatkan bayi-bayi perempuan yang ingin dibinasakan. Ia adalah satu dari empat orang lelaki yang mengingkari penyembahan berhala: Waraqah bin Naufal, Ubaidillah bin Jahsy dan Utsman bin Huwairits. Waraqah kemudian mencari kebenaran dari Ahli kitab, Utsman mendatangi Kaisar Romawi dan menempuh jalan Nasrani, Ubaidillah sempat berislam dan hijrah ke Habasyah namun ia justru berakhir dengan meyakini Nasrani. Sementara lelaki itu tetap pada pendiriannya, ia tidak menganut Yahudi atau Nasrani. Ia sabar mengais sisa-sisa kebaikan Millah Ibrahim dengan kejernihan hati dan akalnya. Ia mengembara ke...

Ketika Nabi Tak Mau Berbagi (1)

Suatu ketika datang seorang lelaki miskin kepada Nabi shallahu ‘alahi wa sallam. Dengan wajah sumringah ia mendekat. “Ya Rasulallah terimalah hadiah kecil dariku,” katanya sembari menyerahkan segenggam buah anggur. Nabi menerima hadiah itu dengan akhlak yang menyenangkan si pemberi. Syahdan, Beliau mulai menikmati butir anggur pertama, si lelaki miskin semakin sumringah sementara para shahabat yang ada di majlis tersebut berharap Nabi mengajak mereka turut makan. Butir kedua Beliau kunyah, tapi taka ada tanda-tanda untuk berbagi dengan para shahabat. Tiga, empat, lima hingga akhirnya semua anggur beliau habiskan sendirian. Si lelaki miskin kemudian undur diri dengan segala suka citanya. Nabi menghadapkan pandangannya kepada para shahabat yang nampaknya masih heran dengan sikap Nabi yang tak biasa. “Ya Rasulallah, kenapa engkau memakan semua anggur itu sendiri dan sama sekali tidak menawarkan untuk salah satu dari kami,” kata seorang shahabat. “Aku memakan semua buah anggur itu karena r...

Anshar

Suatu ketika Anas bin Malik ditanya mengenai siapakah sebenarnya yang memberikan gelar ‘anshar’ kepada muslim Madinah. Anas menjawab bahwa Allah lah yang memberikan nomenklatur tersebut. Anshar artinya penolong. Kisah tentang anak yatim yang ingin mewakafkan tanahnya untuk pendirian Masjid Nabawi atau Sa’ad bin Rabi’ yang menawarkan separuh hartanya untuk Abdurrahman bin Auf adalah contoh kecil dari kemuliaan Kaum Anshar. Kebaikan dan kemurah-hatian Kaum Anshar adalah perwujudan dari mencintai saudara melebihi diri sendiri. Allah berfirman, “Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” Suatu ketika seseorang datang kepada Nabi untuk mengadukan kesusahannya, qadarullah hari itu keluarga nabi tidak memiliki apa-apa selain air. Kemudian Beliau bersabda kepada para shahabatnya, 'siapa bersedia menjamu t...

Resik

Ratu Isabella (1451-1504) yang berkuasa dalam masa pembantaian umat Islam Andalus tercatat tidak pernah mandi, kecuali pada tahun 1469. Raja Henry IV dari Prancis dikenal sangat bau sampai-sampai tunangannya jatuh pingsan saat mendekatinya. Selain dua orang ini, bangsa Eropa masa lampau konon memang tidak terbiasa mandi. Mereka adalah representasi dari kaum yang permisif terhadap berbagai urusan termasuk thaharah. Sebaliknya, thaharah justru menjadi dilema bagi sebagian kaum yang lain. Bagi umat Yahudi klasik, misalnya, meyakini bahwa najis tidak boleh disentuh sama sekali. Andaikan kulit terkena najis maka ia harus dikelupas, tidak cukup disucikan dengan air. Syariat bagi Kaum Yahudi memang dikenal rigid dikarenakan sikap mereka yang terlalu banyak bertanya. Urusan memancing atau makan lemak hewan saja bisa membuat mereka dilaknat Allah. Bagi Islam, thaharah bukan hanya urusan membersihkan diri tapi juga jiwa. Ia tidak disepelekan tapi juga tidak memberatkan. 'Utsman bin 'Affa...

Doa yang  Menyebalkan

Salah satu hikmah Nabi Muhammad berasal dari Arab adalah beliau menghadapi salah satu kaum terburuk dalam sejarah. “Orang-orang Arab Badwi itu, lebih kuat kekafiran dan kemunafikannya, dan teramat wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.” (At-Taubah: 97) Hal ini menyuguhkan ibrah luar biasa bahwa seburuk-buruknya umat bisa menjadi sebaik-baik umat dikarenakan Islam yang disampaikan sang uswah hasanah. Suatu ketika seorang Badwi kencing di Masjid Nabawi hingga sebagian shahabat geregetan ingin menghajarnya. Rasulullah lantas berkata, "tinggalkan dia, dan janganlah kalian menghalanginya." Ulama menjelaskan bahwa sebagian hikmah dari sikap Nabi adalah mencegah Si Badwi kaget dan mendadak menghentikan kencingnya sehingga membahayakan kesehatannya. Selain itu, tidak bersikap emosional juga menghindari risiko Si Badwi merasa terancam, bergerak tiba-tiba dan najisnya muncrat kemana-mana. Nabi mendekati Si Badwi dan menjelaskan bahwa tempat itu adala...

Kenangan yang Mendamaikan

Pasukan muslim menuju Hunain dengan penuh keyakinan, mereka belum pernah memiliki jumlah sebesar itu sebelumnya. Di pihak lain, Malik bin 'Auf an-Nashri jenderal Kabilah Hawazin menginisiasi strategi perang yang belum pernah terpikirkan Bangsa Arab. Ia dan pasukannya menuju Lembah Authas dengan membawa wanita, anak-anak dan hewan ternak. “Aku ingin setiap personil berperang untuk mempertahankan keluarga dan harta mereka” , katanya. Itu mungkin ekspresi keputusasaannya setelah mendapatkan pukulan telak dari kabar kekalahan Suku Quraisy, suku super power . Jumlah muslim yang banyak ternyata tidak memberikan manfaat di awal pertempuran. Kabilah Hawazin menggempur dengan tiba-tiba, menghujani pasukan muslim dengan anak panah. Para mualaf yang belum teguh imannya lari meninggalkan peperangan, merusak keseluruhan formasi pasukan. Mereka tidak lagi mempedulikan panggilan Rasulullah. “Dan ingatlah peperangan Hunain, ketika waktu itu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah mereka, mak...